Selasa, 12 Agustus 2014

Aku Anak Bungsu di Nusa Savanna



Sebuah kesempatan pada Januari 2012, aku menapaki bumi Merapu. Sebagai seorang petani, aku harus meninggalkan seluruh anggota keluarga dan sanak family di tanah kalahiranku. Yaah, Pengalengan harus ku tinggalkan untuk menjadi “anak bungsu” di Bumi Merapu yang mayoritasnya adalah Nasrani. Tapi itu bukan masalah yang menghambat misi kemanusiaanku. Aku muslim, saudara - saudaraku di sini adalah Kristen. Tidak ada perbedaan di antara kami. Aku merasa diperlakukan seperti seorang anak bungsu dalam keluarga. Nyaris semua saudara – saudaraku, baik dari kalangan para petani maupun para teman – temanku yang jurnalis tidak pernah membahas perbedaan. Misi pengembangan sumber daya manusia (SDM) sesama petani berjalan lancar dan mulus. Hanya satu visi menjadikan Sumba daerah Pertanian Oragnik ke depan. 

Jauh dari bayanganku, ternyata masyarakat setempat sangat ramah. Kerukunan dan toleransi antar umat beragama di tempat ini, belum pernah ku temui di daerah lain. Masyarakat daerah ini jauh berbeda dan tiada duanya. Dari seribu satu kisah toleransi antara umat Bergama yang ada, aku belum pernah melihat ataupun mendengar seperti ini. Di Bumi Merapu ini, aku menemukan seorang teman. Bukan sekedar teman saja, tapi jauh lebih dari itu. Sudah seperti saudara sendiri di tanah kelarihanku, Pengalengan. Aku seorang petani, saudaraku seorang jurnalis radio. Dia adalah satu – satunya orang muda di Bumi Merapu yang berbeda dari yang lain. Heinrich Dominggus Dengi, sang direrktur Radio Max 96,9 FM, Waingapu, Sumba Timur. ***       
Kunjungan Gubernur NTT,Fran Lebu Raya ke Waingapu
Musim kemarau panjang akibat perubahan iklim membawa dampak kurang baik bagi petani di Bumi Merapu. Seantero warga Sumba Timur dilanda bencana rawan pangan hingga kelaparan. Anak – anak keluarga para petani menderita busung lapar dan kurang gizi. Media – media masa baik lokal, regional hingga tingkat nasional ramai memberitakan kejadian itu, selama tahun 2010 hingga 2011. Warga Bumi Merapu telah dilanda bencana alam dan bencana kemanusiaan. Para pejabat pemerintah terdengar kerap melakukan pertemuan. Tujuannya membahas dan mencari solusi, guna membebaskan masyarakat dari membelenggu bencana. Berbagai jenis bantuan terus mengalir dari banyak pihak, baik pemerintah maupun swasta bahkan dunia internasional. Bumi Merapu yang dikenal gersang dan bersavanna menyimpan 1001 kekayaan alam yang belum dioptimalkan. Peningkatan SDM petani setempat yang harus diperhatikan guna menghindari bencana kelaparan lagi ke depan. Masyarakat Sumba Timur harus dicerdaskan dan bantuan tanggap darurat bukan solusi seperti yang dilakukan selama ini. Apakah selama ada kejadian masyarakat akan berharap terus pada bantuan? Itupun jika ada yang perduli,jika tidak? Maka masyarakat akan ketergantungan. Yah, karena memang bantuan tanggap darurat tinggalah bantuan. Demikian pemikaran besar dari Heinrich Dominggus Dengi, salah satu orang muda di daerah ini. Pemikiran demikian yang selama ini terus berkecamuk dalam benak saudaraku dan orang muda yang satu ini. 
 
Mencerdaskan dan meningkatkan SDM para petani itu adalah asalah satu alasan mendasar bagi saudaraku ini dengan mendirikan sebuah stasiun radio Max 96,9 fm, di daerah Kalu, Waingapu, Sumba Timur. Siaran radio memiliki andil besar dalam berkontribusi dan turut mencerdaskan para petani dengan informasi-informasinya lewat udara. “Meskipun ada di kampung tapi mereka tidak boleh ketinggalan informasi,sebab minat baca masih rendah serta surat kabar terhitung jarang dan hanya kalangan tertentu saja yang baca. Tapi dengan adanya radio informaasi tetaap sampai pada warga. Radio bisa didengar kapan saja dan siapa saja,” demikian Heinrich Dengi yang telah aku juluki sebagai tokoh muda dalam sebuah diskusi. Keberadaan Radio Max 96,9 FM dirasakan betul manfaatnya. Sejumlah mata acara dalam siaran radio seperti Warga Bicara, Bengkel Bahasa, siaran berita nasional dari KBR, berita dunia dari VOA serta sejumlah hiburan untuk kalangan remaja mampu memikat hati pendengar. Aku juga turut terbantu dalam menjalankan misi peningkatan SDM para petani setempat. Lewat radio milik saudaraku di Bumi Merapu ini, aku diberi kesempatan untuk mengasuh program acara Ayo Bertani Organik. Lewat acara ini, aku bisaberbagi pengetahuan dalam dunia pertanian. Program acara Ayo Bertani Organik, awalnya tidak berharap banyak mendapat tanggapan dari warga pendengar di SumbaTimur. Pasalnya aku adalah seorang petani dan tidak memiliki kemampuan untuk menjadi penyiar handal yang mampu memikat hati pendengar. Tapi di luar dugaan, program acara yang di asuh oleh seorang petani sepertiku mendapat apreseasi. Hal ini mengingat sebagian besar warga setempat bermata pencaharian sebagai pertain. “Mayarakat sangat haus akan informasi. Pola bertani yang baik dan benar selama ini belum diketahui oleh masyarakat di sini. Rating program acara Ayo Bertani Organik dengan sang penyiarnya saat ini sangat tinggi. Kita bisa membantu program pemerintah,” kata – kata sang tokoh muda ini membuatku tergelitik kala itu. Yaaah, itulah faktanya dan memang rating program acara Ayo Bertani Organik, boleh dikata cukup. Ini juga mungkin karena tidak stasiun radio yang berbicara khusus pertanian selama ini dan Radio Max 96,6 FM satu-satunya yang menyiarkan acara pertanian. Program acara inipun lahir secara spontan ketika dalam sebuah perjalanan pulang, dari lokasi Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO) di Desa Maka Menggit, Kecamatan Nggoa, bersama Heinrich Dengi dan beberapa teman jurnalis dalam sebuah mobil kala itu. “Sesungguhnya para petani di daerah kami ini rawan pengetahuan, sehingga menimbulkan rawan pangan waktu itu. Ini letak substansi persoalan sebenarnya yang selama ini tidak dilihat. Rawan pangan dan bencana kelaparan harus dipotong sampai di sini saja. Mencerdaskan petani Sumba Timur dari sekarang dan ke depan tidak akan ada lagi kurung gizi, gizi buruk dan busung lapar bagi anak – anak,” kata Heinrich Dengi kala itu. Jiwanya selalu berkecamuk untuk memerdekakan dan memandirikan ketahanan pangan petani Sumba Timur. Mengangkat harkat dan martabat petani dari keterpurukan pangan. Semangat itulah yang selalu Aku dari dalam jiwa saudaraku Heirich Dengi. Maka tidak heran sejak saat itu hingga sekarang, sering didampingi saudaraku Heirich Dengi untuk mengunjungi para petani dalam membuka wawasan serta cakrawala berpikir tentang ilmu pertanian organic. Saudaraku Heirich Dengi memiliki tanggung jawab moril dan merasa terpanggil sebagai putra Bumi Merapu. Salam dari Pengalengan.,Kabupaten Bandung. (Renungan menjelang Idul Fitri 1435 H)
(Rahmat Adinata,9/8/14)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar