Sebuah kesempatan pada Januari 2012,
aku menapaki bumi Merapu. Sebagai seorang petani, aku harus meninggalkan
seluruh anggota keluarga dan sanak family di tanah kalahiranku. Yaah,
Pengalengan harus ku tinggalkan untuk menjadi “anak bungsu” di Bumi Merapu yang
mayoritasnya adalah Nasrani. Tapi itu bukan masalah yang menghambat misi
kemanusiaanku. Aku muslim, saudara - saudaraku di sini adalah Kristen. Tidak
ada perbedaan di antara kami. Aku merasa diperlakukan seperti seorang anak
bungsu dalam keluarga. Nyaris semua saudara – saudaraku, baik dari kalangan
para petani maupun para teman – temanku yang jurnalis tidak pernah membahas
perbedaan. Misi pengembangan sumber daya manusia (SDM) sesama petani berjalan
lancar dan mulus. Hanya satu visi menjadikan Sumba daerah Pertanian Oragnik ke
depan.
Jauh dari bayanganku, ternyata masyarakat setempat sangat ramah.
Kerukunan dan toleransi antar umat beragama di tempat ini, belum pernah ku
temui di daerah lain. Masyarakat daerah ini jauh berbeda dan tiada duanya. Dari
seribu satu kisah toleransi antara umat Bergama yang ada, aku belum pernah
melihat ataupun mendengar seperti ini. Di Bumi Merapu ini, aku menemukan
seorang teman. Bukan sekedar teman saja, tapi jauh lebih dari itu. Sudah
seperti saudara sendiri di tanah kelarihanku, Pengalengan. Aku seorang petani,
saudaraku seorang jurnalis radio. Dia adalah satu – satunya orang muda di Bumi
Merapu yang berbeda dari yang lain. Heinrich Dominggus Dengi, sang direrktur
Radio Max 96,9 FM, Waingapu, Sumba Timur. ***
Kunjungan Gubernur NTT,Fran Lebu Raya ke Waingapu |
Musim kemarau panjang akibat
perubahan iklim membawa dampak kurang baik bagi petani di Bumi Merapu. Seantero
warga Sumba Timur dilanda bencana rawan pangan hingga kelaparan. Anak – anak
keluarga para petani menderita busung lapar dan kurang gizi. Media – media masa
baik lokal, regional hingga tingkat nasional ramai memberitakan kejadian itu,
selama tahun 2010 hingga 2011. Warga Bumi Merapu telah dilanda bencana alam dan
bencana kemanusiaan. Para pejabat pemerintah terdengar kerap melakukan
pertemuan. Tujuannya membahas dan mencari solusi, guna membebaskan masyarakat
dari membelenggu bencana. Berbagai jenis bantuan terus mengalir dari banyak
pihak, baik pemerintah maupun swasta bahkan dunia internasional. Bumi Merapu
yang dikenal gersang dan bersavanna menyimpan 1001 kekayaan alam yang belum
dioptimalkan. Peningkatan SDM petani setempat yang harus diperhatikan guna
menghindari bencana kelaparan lagi ke depan. Masyarakat Sumba Timur harus
dicerdaskan dan bantuan tanggap darurat bukan solusi seperti yang dilakukan
selama ini. Apakah selama ada kejadian masyarakat akan berharap terus pada
bantuan? Itupun jika ada yang perduli,jika tidak? Maka masyarakat akan
ketergantungan. Yah, karena memang bantuan tanggap darurat tinggalah bantuan.
Demikian pemikaran besar dari Heinrich Dominggus Dengi, salah satu orang muda
di daerah ini. Pemikiran demikian yang selama ini terus berkecamuk dalam benak
saudaraku dan orang muda yang satu ini.
Mencerdaskan dan meningkatkan SDM para
petani itu adalah asalah satu alasan mendasar bagi saudaraku ini dengan
mendirikan sebuah stasiun radio Max 96,9 fm, di daerah Kalu, Waingapu, Sumba
Timur. Siaran radio memiliki andil besar dalam berkontribusi dan turut
mencerdaskan para petani dengan informasi-informasinya lewat udara. “Meskipun
ada di kampung tapi mereka tidak boleh ketinggalan informasi,sebab minat baca
masih rendah serta surat kabar terhitung jarang dan hanya kalangan tertentu
saja yang baca. Tapi dengan adanya radio informaasi tetaap sampai pada warga.
Radio bisa didengar kapan saja dan siapa saja,” demikian Heinrich Dengi yang
telah aku juluki sebagai tokoh muda dalam sebuah diskusi. Keberadaan Radio Max
96,9 FM dirasakan betul manfaatnya. Sejumlah mata acara dalam siaran radio
seperti Warga Bicara, Bengkel Bahasa, siaran berita nasional dari KBR, berita
dunia dari VOA serta sejumlah hiburan untuk kalangan remaja mampu memikat hati
pendengar. Aku juga turut terbantu dalam menjalankan misi peningkatan SDM para
petani setempat. Lewat radio milik saudaraku di Bumi Merapu ini, aku diberi
kesempatan untuk mengasuh program acara Ayo Bertani Organik. Lewat acara ini,
aku bisaberbagi pengetahuan dalam dunia pertanian. Program acara Ayo Bertani
Organik, awalnya tidak berharap banyak mendapat tanggapan dari warga pendengar
di SumbaTimur. Pasalnya aku adalah seorang petani dan tidak memiliki kemampuan
untuk menjadi penyiar handal yang mampu memikat hati pendengar. Tapi di luar
dugaan, program acara yang di asuh oleh seorang petani sepertiku mendapat
apreseasi. Hal ini mengingat sebagian besar warga setempat bermata pencaharian
sebagai pertain. “Mayarakat sangat haus akan informasi. Pola bertani yang baik
dan benar selama ini belum diketahui oleh masyarakat di sini. Rating program
acara Ayo Bertani Organik dengan sang penyiarnya saat ini sangat tinggi. Kita
bisa membantu program pemerintah,” kata – kata sang tokoh muda ini membuatku
tergelitik kala itu. Yaaah, itulah faktanya dan memang rating program acara Ayo
Bertani Organik, boleh dikata cukup. Ini juga mungkin karena tidak stasiun
radio yang berbicara khusus pertanian selama ini dan Radio Max 96,6 FM
satu-satunya yang menyiarkan acara pertanian. Program acara inipun lahir secara
spontan ketika dalam sebuah perjalanan pulang, dari lokasi Sekolah Lapang
Pertanian Organik (SLPO) di Desa Maka Menggit, Kecamatan Nggoa, bersama
Heinrich Dengi dan beberapa teman jurnalis dalam sebuah mobil kala itu.
“Sesungguhnya para petani di daerah kami ini rawan pengetahuan, sehingga
menimbulkan rawan pangan waktu itu. Ini letak substansi persoalan sebenarnya
yang selama ini tidak dilihat. Rawan pangan dan bencana kelaparan harus
dipotong sampai di sini saja. Mencerdaskan petani Sumba Timur dari sekarang dan
ke depan tidak akan ada lagi kurung gizi, gizi buruk dan busung lapar bagi anak
– anak,” kata Heinrich Dengi kala itu. Jiwanya selalu berkecamuk untuk
memerdekakan dan memandirikan ketahanan pangan petani Sumba Timur. Mengangkat
harkat dan martabat petani dari keterpurukan pangan. Semangat itulah yang
selalu Aku dari dalam jiwa saudaraku Heirich Dengi. Maka tidak heran sejak saat
itu hingga sekarang, sering didampingi saudaraku Heirich Dengi untuk
mengunjungi para petani dalam membuka wawasan serta cakrawala berpikir tentang
ilmu pertanian organic. Saudaraku Heirich Dengi memiliki tanggung jawab moril
dan merasa terpanggil sebagai putra Bumi Merapu. Salam dari
Pengalengan.,Kabupaten Bandung. (Renungan
menjelang Idul Fitri 1435 H)
(Rahmat
Adinata,9/8/14)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar