Sabtu, 18 Mei 2019

Jewawut (Uhu Kanu) Laksana Putri Raja Yang Terbuang

Jewawut (Uhu Kanu/Sumba)
Harus dibangkitkan kembali.
Jewawut merupakan tanaman pangan yang berkualitas,sebab kandungan gizi dan nutrisinya melebihi kandungan yang terdapat pada beras.Namun sejak mulai pencanangan program berasnisasi dari pemerintah pusat keberadaannya mulai berkurang ,bahkan hampir punah dari peredaran.Untuk saat ini sangat jarang para petani membudidayakannya,andaikan ada itu pun hanya alakadarnya saja tanam di pinggiran kebun.

Jewawut di Pulau Sumba biasa dikenal dengan nama "Uhu Kanu" ,zaman dahulu tanaman tersebut pernah berjaya sebagai penolong  pada saat-saat musim paceklik (Tahun tidak enak).Namun sekarang keberadaannya hampir jarang ditemui."Makan sedikit saja cepat kenyang,sayang tanaman itu sekarang sulit dicari.Jika ada benihnya saya juga mau tanam kembali." Ujar Daud Taraamah,warga Makamenggit,kecamatan Nggaha Ori Angu, Sumba Timur.

Tanaman serealia  ini bila ditanam di lahan gersangpun sangat cocok,tidak harus  budidaya di lahan yang subur. “Beberapa puluh tahun ke belakang tanaman “Uhu Kanu “ini jadi makanan pavorit kami,biasa kita olah jadi bubur,walau sedikit lengket seperti pulut (ketan).Sangat disayangkan  mulai langka,padahal ini merupakan tanaman pangan yang sehat.” Ungkap Danial ,seorang petani dari Kambujhapang kecamatan Lewa.

Uhu Kanu di Pulau Sumba
Laksana Putri Raja yang terbuang
Sejujurnya, secara iklim Pulau Sumba merupakan daerah kering,dengan tingkat kemarau  panjang mencapai 9 bulan,sebab curah hujan sangat sedikit.Hal ini tentu saja tanaman Jewawut atau Uhu Kanu sangat layak apa bila dikembangkan kembali demi menuju ketahanan pangan daerah.” Masih lebih sulit budidaya padi,bila dibandingkan dengan pelihara Uhu Kanu,alasannya  padi kan memiliki nilai pasar tersendiri .Coba bayangkan lahan kering yang kita miliki (Sumba) lebih luas bila dibandingkan dengan areal persawahan yang ada.” Tambah Danial.

Mengapa Hilang..?
Harus dibudidayakan kembali demi ketahanan
pangan daerah





Jewawut atau Uhu Kanu  (Sumba) mulai menghilang sebab tergeser dengan “Pangan peradaban baru” yaitu beras, dan itu yang merubah pola pikir masyarakat kita,bahwa dengan mengkonsumsi jewawut merupakan  makanan   zaman dulu atau udik,atau bila di pulau Jawa sebagai makanan burung.

Sistim pengeringan Jewawut
(Foto : Ariez Lombok)
Namun perlu diketahui pula,bahwa kandungan nutrisi yang dimiliki Uhu Kanu melebihi beras.Jadi alangkah indahnya bila jenis tanaman pangan serealia (biji-bijian) ini dibangkitkan kembali,tentu saja tujuannya bkan untuk dijadikan sebagai makanan pokok,lebih diandalkan sebagai makanan penyelang untuk antisipasi musim-musim darurat (Paceklik) selain jagung.

Terkadang juga kita sering merasa geli dengan target atau slogan yang sering kita saksikan lewat media masa maupun online,bahwa pemerintah pusat sering teriak-teriak tentang target swasembada pangan,apakah itu mungkin tercapai..? Tentu saja akan tercapai,asal petaninya dicerdaskan terlebih dahulu.Bukan mencerdaskan para mafia pangan.

 (Waingapu,Rahmat Adinata 19/5/19).


Kamis, 16 Mei 2019

Sorghum (Jagung Rote) Bagai Gadis Desa Yang Dilupakan

Sorghum (Jagung Rote/Watar Hamu) Diambang Kepunahan
Di Bumi Marapu Sumba.
Tanaman tradisional khas sumba,NTT yaitu SORGHUM,atau lebih dikenal dengan sebutan Jagung Rote/Watar Hamu,kondisinya sekarang ini cukup menghawatirkan (baca: diambang kepunahan).Padahal jenis tanaman serealia (biji-bijian ) ini pernah jadi penolong pada saat-saat musim paceklik bagi warga Sumba.

Meskipun sebagian besar warga Sumba sebagai petani,namun nasib Jagung Rote makin tahun makin sedikit yang membudidayakannya.Hal ini tentu saja menjadi kendala tersendiri demi tercapainya kedaulatan pangan daerah.Sedangkan istilah gerakan "Diversifikasi Pangan" yang digelorakan oleh pemerintah barulah sebatas berita saja,buktinya hingga detik ini,apa yang diidamkan untuk "swasembada pangan" hanya sebatas angan-angan saja.
Melkianus petani Sorghum di Watumbaka,Sumba Timur

Kenapa Menghilang..?

Tanaman pangan tersebut mulai menghilang sejak pemerintah (Zaman Orde Baru) mulai mengadakan swasembada beras,hingga munculnya  pembagian beras rakyat miskin (RASKIN).Celakanya dengan adanya beras raskin ini posisi petani bukannya diuntungkan,justru sebaliknya.sebab kebutuhan beras nasional selalu mengandalkan impor,secara otomatis dampak yang ditimbulkan dengan adanya beras impor ini posisi petani semakin terpuruk.Dampak lainnya tanaman pangan yang biasanya dibudidayakan oleh petani lokal sedikit demi sedikit mulai diambang kepunahan.

Tanaman Sorghum di Kecamatan Haharu,Sumba Timur
"Dulu makanan pokok kami warga Sumba adalah jagung,ubi-ubian dan jagung rote serta yang lainnya.Petani di mana-mana tanam Jagung Rote dan Jagung lokal untuk cadangan pangan,namun sekarang kan sudah terseret oleh berasnisasi,jadi pangan lokal mulai hilang dari peredaran." Terang Heinrich Dengi,Direktur Radio Max Foundation yang secara khusus membina petani di kawasan Sumba.

"Posisi jagung lokal pun mulai tergeser,sebab adanya bantuan benih jagung hibrida.Kemudian jika petani tanam padi keluhannya selalu ada serangan hama dan penyakit,hingga terkadang gagal panen.Sedangkan jenis tanaman tradisional yang dulu pernah jaya,semisal Sorghum sudah adaftasi dengan iklim di sini (Sumba) dan cara budidayanya pun terhitung mudah." Papar pendiri Radio Max Fm Waingapu,Sumba Timur ini.

Sorghum sebagai tanaman tradisional Pulau Sumba
harus dibangkitkan kembali.
Di Pulau Sumba,petani yang masih membudidayakan Sorghum meskipun tidak banyak masih ada,seperti di kawasan pantai utara Sumba Timur ; Daerah Kuta Atas,kecamatan Kanatang,Prailangina,Napu,Rambangaru,dan daerah Warahe kecamatan Haharu.

"Sekarang ini jadi serba sulit,tanam jagung hibrida tidak bisa disimpan lama,tanam padi sering terserang hama dan penyakit,jadi sebaiknya sedikit demi sedikit kembali ke pangan lokal yang dulu pernah jaya.harusnya ini jadi perhatian  pihak pemerintah ,utamanya bagi kami di kawasan wilayah Timur."Harap Markus ,petani wilayah kecamatan Haharu,Sumba Timur.

Dari data di lapangan,para petani Sumba yang membudidayakan Sorghum presentasinya sangat sedikit,alasannya karena keterbatasan bibit padahal lahan basah (sawah) bila dibandingkan dengan lahan kering (daratan) sangat jauh sekali (lebih banyak lahan kering).

Lahan Sorghum Ketan (pulut)
di kecamatan Haharu,Sumba Timur
Menurut beberapa tokoh LSM lokal Sumba,seperti Deni Karanggulimu menuturkan "Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan bisa saja dilanda rawan pangan, akibat gagal panen atau gagal tanam,dampak dari kemarau panjang.Sudah sepantasnya tanaman tradisional dikembangkan kembali.Meskipun resikonya secara logika,ketika masyarakat biasa mengkonsumsi Uhu Watar (Nasi Jagung)atau Jagung Rote ke Beras pasti proses adaftasinya cepat sekali,namun bila dikembalikan lagi itu butuh proses yang lama.Itu wajar." Tutur Direktur Yayasan  KOPPESDA tersebut.

"Jika ada gerakan Revitalisasi tanaman tradisional di pulau Sumba itu sangat bagus sekali untuk mencapai ketahanan pangan daerah,sebab sejak dari dulu secara iklim sangat mendukung." Tambah Sarah Hobgen,Staff KOPPESDA Sumba.

"AKANKAH HARAPAN SWASEMBADA PANGAN  DI NEGARA #AGRARIS INI,HANYA SEBATAS ANGAN-ANGAN...???"

(Rahmat Adinata,Waingapu-17/5/19)











Uniknya Sirih Sumba

Buah Sirih Sumba yang Harum
Mengkonsumsi sirih di berbagai tempat  tidaklah sama,sebab ada istilah beda tenpat pasti beda budaya.Begitupun bila kita perhatikan dengan jenis sirih ini.Bila di daerah Sumba (NTT) sirih yang dikonsumsi berupa buahnya,sedangkan jenis sirih yang biasa kita temukan di luar Sumba hanya daunnya saja.

Di Pulau Marapu Sumba,sirih memiliki peranan penting yang berkaitan dengan budaya setempat,alasannya sirih sangat berperan penting bila ada acara -acara sakral yang berkaitan dengan budaya atau hari hari istiewa ,bagi orang sumba posisi sirih sebagai lambang kehormatan atau penghormatan terhadap tamu.Kebutuhan sirih di pulau sumba sama halnya dengan kebutuhan sembako.Bila pada acara-acara besar,ada tamu yang tidak disuguhi sirih maka tuan rumah akan menerima sangsi,berupa denda ternak yang harus ditanggungnya.

Buah Sirih baru dipanen
Cara mengkonsumsinya pun akan sangat berbeda dengan daerah luar Sumba,apa bila di luaran sana ,yang mengkonsumsi sirih hanyalah para orang tua (nenek-nenek) yang sudah renta,yang hidupnya diperkampungan jauh dari kota besar.Nah di Sumba sangat berbeda,dari mulai anak muda ,orang tua,baik laki-laki maupun perempuan sudah membudaya mengkonsumsi sirih.

Apa bila kita bertamu pada keluarga Sumba,pasti yang disuguhkan terlebih dahulu adalah sirih dan pinang,itu merupakan lambang penghargaan serta penghormatan pada tamu atau siapapun yang datang berkunjung.

Sirih sebagai lambang penghargaan & penghormatan kepada tamu
bagi orang-orang Sumba NTT
Kebutuhan sirih paling banyak jumlahnya ketika ada acara -acara besar,semisal acara pemakaman,acara pinangan atau acara-acara lainnya."Di musim -musim tertentu terkadang sirih juga ada sulitnya,hingga harganya sagat mahal." Ungkap Jeremias ,warga kota Waingapu Sumba Timur.

"Jika kebutuhan sirih sudah langka ,biasanya dikirim dari luar Sumba,seperti dari daratan Timor atau pulau Sabu." Imbuhnya lagi.

Sirih dengan perlakuan secara organik
lebih besar dan renyah rasanya.
Ada beberapa daerah penghasil sirih di pulau Sumba ,bila di Sumba Barat Daya  yang terkenal di desa Totok,sedang  di kabupaten Sumba Timur,yaitu daerah Pambotan jara,kecamatan Waingapu.Namun secara umum warga Sumba pun membudidayakannya.

Walaupun sirih sebagai kebutuhan pokok bagi warga Sumba,namun hingga sekarang belum ada teknk budidaya yang diterapkan secara intensif dari kalangan manapun,baik pemerintah maupun lembaga swasta.Warga Sumba masih tetap membudidayakannya masih secara tradisional; dengan merambatkan pada pohon -pohon yang ada di sekitar kebun.
(Waingapu,17/5/19)