Senin, 15 September 2014

‘Handuka Eti.....”




Itulah kata pertama yang pernah ku dengar dalam bahasa Sumba saat memberikan bimbingan pada petani di Makamenggit.sebuah kalimat kekecewaan para petani di kelompok Sekolah Lapang Pertanian Organik,SLPO Makamenggit,Desa Makamenggit,Kecamatan Nggaha Ori Angu,Sumba Timur ,NTT
..
Masyarakat petani yang tergabung dalam kelompok SLPO Makamenggit mendapat program sekolah lapang ,berupa tanam padi metode SRI (system Rice of Intensification) sebuah metode tanam dengan hemat bibit,hemat air,tanpa pupuk dan pestisida kimia,dari IPPHTI. 
Usia padi baru satu minggu setelah tanam,namun kondisinya sangat menghawatirkan.kuning dan seperti mau mati.Semua nggota kelompok SLPO Makamenggit mengeluh bahkan menyesalkan .mengapa harus tanam pola SRI ? Padahal jika tanam seperti yang nenek moyang wariskan tidak akan merana begitu.
“Handuka Eti begini, lebih baik digiling ulang terus tanam kembali biar kita rugi waktu.masa lahan belajar pertumbuhan padinya ,memalukan.” itulah yang dilontarkan oleh beberapa petani.
Entah kata-kata apalagi waktu itu yang dilontarkan sebab dalam bahasa daerah yang belum dipahami Wajar mereka memiliki pandangan seperti itu sebab tanam padi pola yang diterapkan hal baru

Menurut mereka biasanya tanam padi antara lima atau enam anakan hingga usia satu minggu sudah kelihatan hijau. Sedangkan ini sangat berbeda dengan kebiasaan mereka..
Seiring berjalannya waktu,masuk usia tiga minggu tanaman padi tumbuh subur dan hijau sudah ada enam anakan rata-rata selanjutnya semakin bertambah,hingga puncaknya pada minggu ke 14,sudah 78 anakan dalam satu rumpun.,padahal hanya tanam satu anakan saja.
Kata-kata sindiran ,makian entah ke mana perginya. Berunah jadi hammu eti.Ada kebanggaaan yang mereka lakukan selama ikut program sekolah Lapang pertanian organik di Makamenggit. 
Adalah satu konsekwensi yang harus diterima disaat kita menghadapi para petani dengan tingkat pengetahuan yang berbeda.Tidak mudah merontokan paradigma lama dalam sekejap. Hanya dengan keuletan ,pendekatan yang ikhlas. Serta penyampaian dengan bahasa petani agar cepat dipahami oleh mereka.
Inilah program awal saat masuk Pulau Sumba,NTT, bersama Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia,IPPHTI kerjasama dengan Sinode GKS Sumba pada januari tahun 2012
.
Hakudu-hakudu jadi hammu eti juga hehehehehe..
(Catatan tercecer di Bumi Marapu) terima kasih buat : Pak Iskandar Saher,pak Naftali Djoru,pak Heinrich Dengi pak Ignas Kunda,pak John Taena,,pak Leonardo Ratuwalangon,,@Feri IPPHTI,pak Kustiwa Adinata.(IPPHTI Nasional).
Salam Organik untuk Sumba..

Rahmat Adinata, Waingapu  10/9/14....
 




 keterangan : Handuka eti; merana,menyedihkan
              Hakudu     : sedikit
              Hammu eti  : Baik hati







Minggu, 14 September 2014

IPPHTI :“Tanam Padi Metode SRI..”



Sistim atau pola penanaman padi SRI (System Rice of Intensificatiom) banyak keuntungan yang diraih oleh petani. Selain mampu melawan perubahan iklim,pola ini sangat menghemat kebutuhan bibit. Biasanya petani kita di Pulau Sumba tebar benih biosa berpuluh –puluh kilogram,sistim ini hanya butuh 8 kg saja/hektar.
 
Dengan jarak tanam 25 X 25 cm atau 30 X 30 cm atau juga sistim legowo.Metode SRI hanya tanam satu anakan dalam satu tancapan,berbeda pula kebiasaan paradigma lama bisa lima dan enam anakan.  benihpun cukup muda ketika umur 8 hari sudah siap tanam (bulir masih nempel untuk cadangan makanananya).

Dalam pemahaman masyarakat petani kita bahwa padi sawah adalah tanaman air,inilah pola pikir yang keliru padahal sebetulnya padi sawah merupakan tanaman yang membutuhkan air. Sehingga dampak negatifnya masyarakat bisa berebut air akibat pemahaman yang keliru tersebut.

Metode SRI sangat hemat air cukup macak-macak. Dengan perlakuan penyiangan gulma setiap sepuluh hari setelah tanam hingga usia satu bulan.
Pemupukan serta penyemprotan hanya menggunakan pupuk dan pertisida organik sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT) dan pengendali hama tanaman.

Potensi Hasil

Dengan menerapkan pola SRI hasil bisa mencapai antara 10 hingga 12 ton (setelah masuk ke tahap tiga kali tanam), asal perawatan maksimal sesuai dengan anjuran  metode tersebut.
 
Sebagai tahap awal di Pulau Sumba metode ini sudah dikenalkan oleh Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia ,IPPHTI kepada petani Makamenggit,Sumba Timur ( hasil 6,4 ton/ha.tahun 2012),petani di Karuni,Kecamatan Loura,Kabupaten Sumba Barat Daya (hasil 7,4 ton /ha.Tahun 2013),petani di Kandara,Kelurahan Wangga,Sumba Timur.

Penerapan metode SRI di Pulau Sumba sangat cocok jika melihat struktur tanah dan kondisi iklim yang ekstrim ,khususnya di Kabupaten Sumba Timur.NTT.

Lewat tulisan  ini semoga ada manfaatnya hingga mampu merubah yang tadinya daerah miskin bukan hal mustahil ke depan menjadi penghasil pangan yang sehat bagi bangsa ini. Intinya posisikan petani sebagai subyek bukan sebagai obyek. 

Siapa Minat..?

Salam organik untuk Sumba….
JOOOSSS….!  (Jangan Omong Saja…!) 

Rahmat Adinata,waingapu 15/9/14














Jumat, 12 September 2014

IPPHTI : “Anga-anga Saja...Itu Tabu ....!”



 
Ketika pertama kali membimbing petani di Makamenggit ,Kecamatan Nggaha Ori Angu,Kabupaten Sumba Timur. Ada yang masih terngiang di telinga,seolah kejadiannya baru kemarin sore padahal  sudah tiga tahun berlalu,tepatnya januari 2012..

Memasuki materi pembelajaran pembuatan pupuk organik cair dalam membimbing petani ,untuk kebutuhan penyemprotan padi di lahan belajar Sekolah Lapng Pertanian Organik,SLPO Makamenggit. Bersama Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia,IPPHTI.

Waktu itu para anggota kelompok diintruksikan agar mengumpulkan air kencing atau urinenya masing-masing sebanyak lima liter dalam waktu seminggu. Namun mereka tidak ada yang menyahut satupun,bahkan ada yang nyeletuk .” Anga-anga saja.” Katanya (itu kata yang pertama kudengar kala itu).

“Maaf Pak di sini sangat tabu untuk mengumpulkan barang seperti itu,apakah tidak ada yang lain yang harus kami kumpulkan...?” tegas seorang petani setengah ngotot tidak setuju.
 
Namun ahirnya para petani pada waktu yang ditentukan mengumpulkan juga, hanya anehnya sebagian besar petani anggota saat proses pembuatan semua pada lari menjauh sebab tidak tahan dengan bau pesingnya.

Tahap proses fermentasi telah selesai, pupuk siap untuk digunakan ,namun sebelumnya petani diperintahkan untuk  mencium pupuk organik dari air kencing tersebut. Semua petani antri sekedar merasakan serta ingin tahu masih bau atau sudah berubah.

Dari jumlah anggota 30 orang hanya satu yang mengatakan bau,ternyata yang satu orang ini sedang flu. Selebihnya mengatakan.harum buah nanaslah,harum buah nangkalah dan harum yang lainnya.serta sejuta pertanyaan dalam benaknya masing-masing.

Waktunya aplikasi pun dilaksanakan dan anehnya mereka tidak lari menjauh seperti sedia kala. Tanaman Semangka,tomat,bunga kol dan yang lainnya tumbuh subur berkat pupuk dari air kencing mereka.

Setelah melihat hasil nyata ,selanjutnya,diperintahkan membuat pupuk dari air kencing mereka sudah sadar sendiri sebab ada manfaat di dalamnya.Lebih seru saat panen semangka,ketika mereka makan saling olok.”ini berkat air kecing siapa hingga semangka bisa subur dan besar serta manis begini?” itulah guyonan mereka di lahan belajar SLPO Makamenggit (jadi pingin ketawa sendiri jika ingat. Hehehe)

Bagamanapun manusia merupakan mahluk yang paling serakah dalam pola makan,hingga kandungan -kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman paling komplit di dalamnya,asal kita mengetahui cara mengolahnya.

Mungkin kita sepakat bahwa memandang sesuatu janganlah dari sudut negatifnya saja,pasti ada kandungan positifnya yang mampu diraih untuk kehidupan kita..
(Catatan masa silam Di Bumi Marapu)

Salam Organik untuk Sumba......
JOOOSSS.....! (Jangan Omong Saja....!)

Rahmat Adinata,Waingapu,13/9/14









 Ket : Anga-anga saja (Ada-ada saja,bhsa Sumba)

Kamis, 11 September 2014

"Ah Omong Kosong Itu...."

Pertama kali mengenalkan tanam bawang merah dari biji pada petani di Sumba Timur tahun 2012. Awalnya mereka tidak percaya jika bawang merah asalnya dari biji. sedangkan selama ini mereka yang ketahui tanamnya dari umbi saja..

Sungguh ironis memang, padahal negara kita sebagai negara agrarris,serta sudah merdeka pada usia 69 tahun. namun nasib yang dialami oleh rakyatnya dalam hal ini petani msih miskin dalam pengetahuan tentang bertani.

"Ah omong kosong itu..mana ada bawang merah dari biji sejak nenek moyang dari umbi..."  ujar seorang petani dari kelompok SLPO Makamenggit,Sumba Timur,  yang Kami  bimbing,setengah mgotot tidak percaya.

Begitu ditunjukan lalu kami mbimbing ,dari mulai cara persemaian hingga tanam,barulah mereka percaya. hasilnyapun cukup mrmuaskan berbeda dengan tanam dari umbi.

Tujuan dikenalkan dengan biji adalah agar masyarakat petani di Sumba Timur ke depannya tidak ketergantungan terhadap bibit. jadi dengan tanam bioji mereka akan mengetahui setiap generasi keturunnannya.Mungkin ada konsekwensi yang harus diterima jika tanam dengan biji harus menunggu lama ,sebab dari satu biji bawang hanya akan keluar satu umbi saja . itu untuk tanam awal.namun selanjutnya petani akan merdeka dengan memiliki bibit lanjutan.

Kini setelah hampir tiga tahun membimbing petani di Pulau Sumba masih ada sebagian besar petani yang belum mengetahuinua.sedangkan petani yang pernah ikut Sekolah Lapang bersama  Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia,IPPHTI sudah merasakan hasilnya.

Sejatinya pemahaman ini disosialisasikan oleh pemerintah setempat melalui dinas terkait kepada petani di tingkat Desa.

Dari data BPS, Badan Pusat Statistik Nasional. bahwa bawang merah untuk kebutuhan dalam negripun masih dikirim dari luar negri. Inilah barangkali yang mengherankan. padahal jika para petani kita dibimbing dengan dibekali ilmunya berkeyakinan barang -barang tidak perlu lagi berharap kiriman dari luar.

Namun terkadang pula pihak yang memiliki kebijakan punya argumen lain,sebagai contoh alasannya untuk menyetabilkan harga pasar,atau petani mengalami gagal panen. maka didatangkanlah bawang merah tersebut. namun sayang pemerintah dalam hal ini tidak melihat dampak negatif yang kronis terhadap keberadaan petani lokal  sendiri.

Semoga dengan terpilihnya Presiden ke 7 Negara Kita Bapak Jokowi akan mampu menolong ketersediaan pangan dalam negri.

Tentu saja ketersediaan pangan ini yang bisa dihasilkan oleh petani sendiri,bukan sengaja berharap kiriman dari negara tetangga.

















Salam Organik untuk Pulau Sumba.....
JOOOOSSSS....! (Jangan Omong Saja..!)

Rahmat Adinata,Waingapu 12/9/14.

Sabtu, 30 Agustus 2014

IPPHTI: "Selamatkan Bibit Lokal Sumba..!”

Bukan hal yang mustahil bibit-bibit lokal yang ada di Sumba suatu saat akan musnah dan tidak dikenal lagi oleh generasi kita.padahal keberadaan bibit tersebut sudah sangat adaptif dengan kondisi iklim di sekitar alam Sumba.
.
Sebagai contoh ,seperti bibit jagung lokal Lamuru,pulut dan jemis lainnya sekarang sudah mulai sulit dicari keberadaannya sebab petani selalu dicekoki dengan bibit hibrida dengan alasan hasilnya bagus ,namun tanpa dibekali cara pemeliharaannya . inilah yang harus kita sadari sejak dini. Jika tidak pangan dan nasib petani kita akan selalu ketergantungan pada pihak luar.

“Jika kita tanam bibit lokal bisa disimpan beberapa tahun,berbeda dengan jagung jenis baru disimpan bubuk.ujung-ujungnya cari bibit yang pernah nenek moyang kita tanam sudah hilang ,susah dicari.” Begitu kata bapak Bara Kilimandu petani dari Makamenggit.

Sebetulnya di Pulau Sumba sangat kaya dengan jenis-jenis bibit lokal yang sudah adaptasi dengan iklimnya.seperti terong,Lombok,jagung, dan tomat.namun terkadang kita selalu tidak menyadarinya ada diambang kepunahan.

Ironis memang jika yang namnya negara "agraris " petaninya tidak merdeka dal;am hal kebutuhan bibit,tanah-tanah kita subur.Iklim kita mendukung,namun selalu merasa tidak berdaya.

Kiranya lewat tulisan ini tak perlu saling menyalahkan sebab kebenaran itu hanya satu. Marilah kita untuk bijak menyelamatkan kekayaan yang ada di Pulau Sumba
Apakah solusi yang harus dilakukan...?


Rahmat Adinata,Waingapu 31/8/14














Jumat, 29 Agustus 2014

IPPHTI :“Jangan Katakan…..!”



 
Jangan katakan Tau Humba pemalas ,tetapi mereka lebih karena belum tahu caranya. Mungkin kata-kata atau stigma –stigma negative yang selalu melingkupi pikiran kita sebaiknya dibuang jauh-jauh.

Jangan katakan  tanah kelahiran kita gersang  saat kemarau panjang sebab belum disentuh dengan toknologi,padahal masih banyak potensi seperti terabaikan.

Masih ingat sat mengajak sekelompok Ibu-ibu  di Kalu bersama pak Heinrich Dengi ,tiga bulan lalu. mengajak mengolah lahan yang kering padahal air mengalir deras di sebelahnya yaitu Kali Payeti.
Tidak mudah memang ingin merubah paradigma   masyarakat yang tadinya menjelang sore hanya jadi kelompok pencari kutu (KPK)secara berantai. Butuh keuletan dan kebijakan serta pendekatan  dengan keihlasan.
 
Kini mereka berubah dari KPK (Kelompok Pencari  Kutu)menjadi Kelompok Penanam Sayuran (KPS). Ada sesuatu yang membanggakan  apa yang di ldengar dari pernyataan-pernyataan mereka sekarang. Dimana sekarang tidak saja menjual untuk kebutuhan rumah tangga namun bisa mengkonsumsi sendiri.

Barangkali ini hanyalah langkah kecil dalam perubahan yang terjadi di masyarakat Sumba Timur , namun jika langkah kecil ini  ada “perhatian jemput bola” dari pihak –pihak terkait otomatisasinya akan menjadi besar.

Tanah menurut pemahaman mereka kering,gersang  kini sudah tabu untuk disebutkan lagi , sebab telah berubah kondisinya.Ininlah barangkali yang dibutuhkan oleh masyarakat Sumba Timur,butuh sebuah pemahaman nyata bagi keberlangsungan hidup menuju petani sejahtera.

“Jangan berani memvonis jika belum mampu memberikan solusi..itu tidak bijak..”
Salam Organik ..untu Pulau Sumba…
.
JOOOSSSS….! (Jangan Omong Saja…!)

Rahmat Adinata,Waingapu, 29/8/14