Sabtu, 27 Oktober 2012
Membuat Kompos, bersama SLPO Makamenggit Sumba Timur
Kompos atau pupuk organik padat sangat dibutuhkan untuk tanaman, sebagai penyedia makanan serta mampu memperbaiki sipat biologis dan kimia tanah. namun sayang orang -orang sudah terbiasa dengan barang barang instan, seperti pupuk kimia yang merusak tanah dengan pemakaina yang berlebihan, dampaknya bisa melahirkan kerusakan pada lingkungan dan kesehatan manusia karena tingkat residu yang diserap oleh tanaman.
Di sumba Timur yang sudah terkenal sejak dulu sebagai lumbung ternak, kotoran hewan belum mampu dimanfaatkan dengan maksimal. dampak nya kebutuhan pangan selalu mwenjadi langganan setiap tahun.
inilah yang harus disikapi serta disiasati oleh semua pihak, terutama pihak pemda setempat.
Pangan adalah kebutuhan nomer satu bagi kebutuhan masyarakat, tapi jika pengetahuan, pemahaman petani tentang alam tidak dibekali sama saja bohong....!!!
memberdayakan petani dimanapun adalah satu keharusan. kita harus merasa malu dengan sebutan sebagai Negara "AGRARIS" namun pangan masih kurang, masih banyak rakyat miskin. Padahal tanah-tanah subur. negara yang kaya dari lautan dan daratannya. tapi jika rakyat dan yang mempunyai kebijakan di atas seperti minyak dengan air, selamanya akan ketergantungan pada pihak luar.
Sekarang sudah masuk dalam tahap bahaya, kekayaan digadaikan kepada pihak asing, dikeruk dibawa ke luar, sementara rakyatnya mengejang kelaparan, bagai tikus mati di lumbung padi. ironis....
Bersama Petani SLPO Makamenggit, Sumba Timur
Selasa, 23 Oktober 2012
Kegiatan Bersama Sahabat Di Sumba Timur,2012
bersama Mervyn Mcullagh,ireland
bersama George,AS
yang paling membahagiakan adalah bisa berbagi dg sesama
siapapun dia yang jelas punya perhatian pada Sumba
bersama katryn, belanda
bersama Lukas Amstrong, AS
tak ada salahnya sahabat datang minum teh bareng
Di Pulau Arwah : Seolah ada " Kutukan Budaya”
Sekelompok masyarakat La Menggit,
Kelurahan Matawai, Kecamatan Kota Waingapu, Sumba Timur. Dari mulai anak-anak
yang masih sekolah SMP sampai orang dewasa, Dalam menghadapi kemarau ini sibuk
kerja bersama-sama, mengolah lahan di sekitar bantaran sungai payeti.
Lahan sekitar 2000 are mereka cangkul
. meski tanah keras , berdebu. Mereka seolah tak perduli. Sebagian mencangkul,
disusul sebagian membuat bedengan dengan lebar satu meter dan tinggi bedengan
30 cm
.“ini semuanya ada 26 bedengan dengan panjang 27 meter.”kata Matius Wohangara ketua
kelompoknya
“Kami rencana mau tanam
sayuran.” Reymon menimpali sebagai anggotanya
Matius
Secara umum lahan –lahan di sumba
timur di sekitar bantaran sungai Payeti,
kota Waingapu .jika menghadapi kemarau panjang tidak diberdayakan, lahan
dipakai hanya ketika musim hujan saja, dan yang ditanampun tidak beragam, hanya
jagung.
Matius Wohangara sebgai ketua
penggeraknya memaparkan. Awalnya sering mendengarkan Radio Max Fm Waingapu, dari diskusi anggota peserta program SLPO Makamenggit berbagi ilmu di udara. Kemudian September lalu dia berkunjung ke Stand pameran
SLPO Makamenggit dan IPPHTI, di Taman Hiburan Rakyat,THR Waingapu. Beliau
berkonsultasi seputar dunia pertanian dengan segala masalahnya. Setelah merasa
puas mendapat penjelasan dari Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu
Indonesia, IPPHTI. Besoknya mengumpulkan masyarakat sekitar rumahnya. Maka
didapat kesepakatan untuk menggarap lahan sekitar bantaran sungai payeti
tersebut. Menurutnya lagi. Jika sudah panen nanti sudah disepakati dua puluh
persen akan dipersembahkan buat Gereja.
“Selama ini tanah nganggur tidak
dimanfaatkan, karena tidak tahu bagaimana cara mengolahnya. Hampir semua lahan
dekat sungai ini tidak digarap jika kemarau,padahal air dekat. Hanya musim
hujan saja, masyarakat di sumba ini jika musim hujan tidak berani tanam sayur.
Takut busuk batang dan ulat.” Jelas Djois Ndahawali, anggota kelompok mewakili
ibu-ibu yang lain
“Namanya kelompok Lata Luri artinya
jalan kehidupan, anggotanya ada 20 orang.” Kata Matius
“Tanam sayur dimusim hujan di Sumba
Timur seperti ada “Kutukan Budya” seolah-olah pantangan.” Kata Reimond lagi.
“ Makanya sayuran di sini bisa dua
kali lipat harganya kalau musim hujan , karena susah.” Seorang ibu yang ada di
samping Reimond menambahkan.
Terlihat bedengan dengan bentangan panjang di lahan kelompok
Lata Luri La Menggit, baru berberapa komoditas sayuran yang ditanam, seperti
tomat, kol, petcay, semangka dan tanaman
letus.
Orang tua dan anak –anak secara
bersama sama sibuk ada yang memasang lanjaran tomat. Timun, nyiram semangka.
“sebelumnya tidak ada yang membimbing
kami pengolahan tanah dan budi daya
seperti ini, makanya kami semangat mengerjakannya, buat bekal nanti. Ilmu kan
tidak berat dibawa kemanapun.” Ujar yoga
yang masih duduk di bangku SMA.
“Setelah keluar sekolah Belum tentu
saya lanjut ke perguruan tinggi, karena kondisi ekonomi keluarga di kampung.
Jadi kalau harus pulang kampung sudah ada bekal sedikit tentang bercocok tanam
sayuran.” Ujarnya lagi semangat.Ternyata
Yoga berasal dariDesa Mbatapuhu
Kecamatan Haharu.Adalah contoh baru buat generasi seperti Yoga yang mau belajar tentang hal ini.
“Setelah mendapat penjelasan dan
pemahaman mengenai cara-caranya kami baru sadar dan tak perlu takut, tanam
sayuran di musim hujan. Ternyata ini bukan kutukan atau pantangan, hanya
kebodohan kami saja.” Seorang bapak mengutarakan kekesalannya.
"karena sebelumnya tidak ada yang membimbing kami ,ini modal dan bekal untuk menghadapi musim hujan nanti." tambahnya.
“silahkan hujan turun , kami sudah
tanam sayuran , bedengan sudah tinggi di kasih tahu si akaaaaaannggg…! Teriak
Jourdan teman Yoga mengagetkan orang-orang disekitarnya.
Kekalutan yang menggulung jadi
kabut dalam kalbu harus disibakkan, kekesalan yang menggumpal mesti dicairkan.
Kutukan atau pantangan tanpa alasan,
membuat masyarakat terpepejara dalam kemiskinan, seberkas cahaya harus dipantulkan, ditembuskan ke dalam relung hatinya.
"Bangunlah Jiwanya
"Bangunlah Badannya
"Untuk Indonesia Raya.....
Umbu, Rambu semangat….!!!
Senin, 22 Oktober 2012
Analisa Agroekosistem (Rekam Jejak IPPHTI Di Sumba Timur)
Tanggal 4 Bulan Pebruari- tahun 2012, tanam padi pola SRI ,
Sekolah Lapang Pertanian Organik ,SLPO Makamenggit,
yang dibimbing oleh Ikatan Petani Penegendalian Hama Terpadu Indonesia,IPPHTI telah berusia 7 hari setelah
tanam.
Tampak anggota peserta program berkumpul dekat pematang lahan
belajarnya, ada yang sekedar berdiri, sekedar ngobrol sambil berbagi sirih
pinang atau pahapa.
Hari ini mereka memulai melakukan pengamatan tanaman yang
dinamakan Analisa Agro Ekosistem kemudian setelah dari lapangan
melakukan Herbarium,masuk dalam satu ruangan.
Semua peserta tidak ada yang berani bicara, terlihat dari
wajah-wajahnya dengan muka masam, seolah tak ada yang bersahabat, berbeda
sekali ketika pertama kali bertemu saat memulai program. ramah. Sekarang? Seolah urat pipinya
mengencang.
Mungkin sebabnya karena menyaksikan padi yang mereka tanam 7 hari
yang lalu pertumbuhannya, tidak sesuai dengan harapan.
"tolong diamati kemudian dicatat apa yang ditemukan apakah
itu hama atau penyakit pada tanaman padi, nanti dipresentasikan di ruangan
kelas." intruksi Pendamping pada anggotanya.
"Apa yang mau diamati..? tanaman padi tumbuhnya merana
begini?" celetuk salah satu anggota kepada temannya.
"Ini lebih baik ditraktor ulang, masa belajar tanam padi menyedihkan sekali, bikin
malu saja." ujar teman yang satunya kecewa.
"Jangan-jangan kita ditipu dengan adanya program ini."
yang lain ikut bicara.
"bisa jadi begitu. kita hanya dijadikan kelinci percobaan
saja." yang lainnya ikut memanasi situasi.
"Sudahlah nanti kita bicarakan dalam ruangan setelah
ini." teman satunya dengan bicara agak tenang.
"bawa satu contoh tanaman ke dalam ruangan nanti."
perintah Pendamping setengah berteiak.
"Dicabut..?" tanyanya.
"Iya dicabut, tapi akarnya harus utuh tidak boleh
putus." jawab pendamping.
"dicabut semua pun tidak masalah, karena tumbuhnya
memalukan." teriak peserta yang rambutnya gondrong, sambil ngeloyor pergi
menghampiri teman-temannya.
Ada pergumulan yang hebat dalam batin mereka. Bagamana tidak
kecewa, biasa tanam padi 6 atau 7 pohon satu tancapan dalam waktu seminggu langsung kelihatan hijau. Sedangkan
ini? Padi yang baru ditanam tumbuhnya merana seperti mau mati.
Semua peserta masuk berkumpul
dalam ruangan sebuah gereja tua, sebuah bangunan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi sebagai
tempat ibadah, hanya sesekali dipakai untuk pertemuan masyarakat.
Secara bergiliran peserta menyampaikan hasil temuannya dilapangan.
“ Dengan kejadian seperti ini mohon sama pendamping untuk ditinjau
ulang, betulkah kami ini masuk program yang akan membawa perubahan pada
masyarakat kami? Tanyanya dengan sinis
“ begini bapak pendamping, besok lebih baik ditraktor ulang
diganti dengan pola tanam yang nenek moyang kami wariskan. Alasannya ini jauh
dari harapan kami, bagaimana mau mengatasi bencana kelaparan jika tanam padi
seperti ini? Tambahnya panjang lebar seraya menunjuk pada contoh padi di papan
herbarium. Dengan muka marah.
Pendamping tidak langsung menanggapinya malah berujar.” Begini,
lebih baik diselesaikan dulu data yang ditemukan dari lapangan di papan
herbariumnya.”
Peserta dengan jumlah 30 orang petani di SLPO Makamenggit tidak
ada yang berani angkat bicara lagi. Mereka menulis apa yang diintruksikan oleh
pendampingnya.
Sebagian ada yang cemberut, muka masam, tapi ada juga yang
biasa-biasa saja.Selesai menulis di papan herbarium perwakilan kelompok kelompok peserta program
untuk tampil ke depan mempresentasikann yang ditemukan di lahan belajar.
Namun setiap peserta tetap saja muaranya bertanya, kenapa dengan
pola yang baru mereka pelajari tanaman padinya kurang sesuai dengan yang di
harapkan?
"Handuka eti." katanya dengan bahasa sumba.
“ Jangan-jangan kita ini ditipu dengan topeng program, kalau benar
siapa mau bertanggung jawab? Kita ini sudah kena becana kelaparan, datang orang
baru dengan janji manis .” Bisik seorang
anggota yang duduk paling belakang pada temannya.
“kita potong saja rame-rame, beres.” Selanya asal bicara.
Kemarahan , jengkel, kecewa hari ini merasuki jiwa peserta,
Hari sudah sore. Langit digelayuti awan hitam,mendung. Mungkin sebentar
lagi turun hujan.Para petani pulang ke rumahnya masing-masing dengan
membawa sejuta kemarahan, kekecewaan, diselimuti kabut ketidakpahaman.
Lahan belajar merupakan guru, lahan belajar merupakan perpustakaan
alam bagi petani dan sekaligus sebagai laboratorium alamnya para petani.
“Dasar orang baru penipu…!!” mungkin teriaknya begitu, sesampainya di rumah .
(Radita)
Minggu, 21 Oktober 2012
Di Pulau Arwah : "Rambu Menjawab"
Alam adalah anugrah, dengan segala
isinya untuk kepentingan hidup seluruh mahluk di muka bumi ini. Namun terkadang
kita tidak menyadarinya. Matahari dengan setia dan tepat waktu hadir menyinari
dari pagi hingga menjelang malam, tak penah ingkar janji atau datang terlambat,
apalagi mengeluh.
Tanah sebagai rahim bumi bagi
tumbuhnya tanaman, sekaligus tempat berpijak berbagai ciptaaNya.Dan kita sebagai mahluk yang paling
sempurna acap kali merusak tanpa memikirkan untuk generasi selanjutnya.Harus
malu pada Matahari, Gunung, Lautan, pepohonan tanpa ada rasa keluh sedikitpun.Inilah
tanda –tanda alam bagi manusia yang mau berpikir.
Seperti kita ketahui memasuki bulan
ke sebelas tahun 2012 di Pulau Sumba ini kemarau seolah tak berujung, hujan
seringkali digambarkan sebagai tetesan” Doa” untk menyiram lapisan bumi, semakin menjauh diterjang angin ke tengah
samudra lautan lepas.
Tanah-tanah retak, pepohonan
meranggas, daun daun kering berjatuhan ditiup angin kencang. Bumi kerontang,
itukah gambaran hati atau batin kita yang tak pernah bersyukur atas nikmatnya…?
Kondisi alam demikian ternyata tak
mengurangi perempuan-perempuan “perkasa”
Pulau Sumba atau dikenal dengan Pulau Arwah. sekelompok ibu-ibu di Kalu,
Kelurahan Prailiu,Kecamatan Kambera,Kabupaten Sumba Timur. Sedang berjibaku
berjuang tak menyerah pada alam. Mereka sedang menggarap lahan yang kering,
keras dan berdebu hendak bertani sayuran, untuk memenuhi kebutuhan serta
menyambung hidup.tak perduli dengan panas, tak dihiraukan kulit legam.Melakukan
satu perubahan pada dirinya dan tanah kelahirannya.
“Satu kali dalam setahun jika ada
hujan itupun hanya ditanami jagung” kata Novianti dari Kelompok Tani Kawara
Pandulang, daerah Kalu.
“Hasilnya juga Tidak seberapa,
padahal lahan lumayan luas. Mau coba tanam sayuran semoga hujan cepat turun.”
Tambahnya berharap.
“selama ini menyiram tanaman
mengandalkan air dari sumur anggota kelompok, baru ditanami
mentimun, kami pertama kali mencoba tanam sayuran, mungkin sejarah..”
timpal Marselina anggota Kawara Pandulang.
“ Besok Kami mencari kayu untuk
lanjaran timun, sebelumnya tidak tahu
pola budidayanya seperti ini, kami tahu caranya dengar dari Radio Max fm
Waingapu, acara “Ayo Bertani Organik” kami harus memulainya” . Deborah
menambahkan dengan semangat.
Novianti sebagai ketua kelompok
Kawara Pandulang menceritakan. Jika sore hari ibu-ibu sering berkumpul depan
halaman rumahnya. Sekedar ngobrol sambil mendengarkan Radio Max Fm Waingapu.
Kemudian timbul inspirasi untuk menggarap lahan dekat rumahnya, karena selama ini
tidak pernah digunakan selama kemarau panjang. Mereka berdiskusi sesama ibu-ibu
, kesepakatan pun lahir dengan tujuan menggarap lahan tersebut, serta membentuk
kelompok dengan nama “Kawara Pandulang” yang beranggotakan 8 orang.
Setelah itu ibu-ibu mengutus
perwakilan sekedar memohon bantuan bimbingan ke acara “Ayo bertani Organik”
dari Radio Max Fm, yang di dukung oleh Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu
Indonesia,IPPHTI.
“saya tak mengira akan kedatangan
ibu-ibu ke sini (studio Radio). Ternyata ada manfaatnya bagi mereka awalnya sekedar mendengar acara dari Radio Max.untuk melakukan satu perubahan
untuk keluarganya, ini satu terobosan
bagi daerah ini (Sumba Timur) “ kata Heinrich Dengi sebagai pemilik Radio Max,
gembira.
“saya mengucapkan terimakasih kepada
IPPHTI , sudah mau berbagi dengan saudara-saudara Kami lewat Radio di Kabupaten
Sumba Timur.semoga ini terus berlanjut” Kata Heinrich lagi.
"kami mencangkul lahan saat menjelng malam, sebab siang hari sangat panas." ujar Novianti yang diamini oleh kawan-kawannya.
"kami mencangkul lahan saat menjelng malam, sebab siang hari sangat panas." ujar Novianti yang diamini oleh kawan-kawannya.
Semoga perjuangan perempuan perempuan
Perkasa Kawara Pandulang , Kalu. Kelurahan Prailiu ada dampak positif bagi
masyarakat lain di Sumba Timur ini, sebagai suatu perubahan.
Angin bertiup dengan kencang seolah
memompa semangat ibu-ibu di atas. Menerbangkan debu, menggoyang pepohonan.
Panas terik matahari semakin tak mau kompromi. Menyinari, menembus kekalutan
yang diselimuti kabut. Kabut teramat tebal dalam kalbunya. Rambu selamat berjuang... ! (Radita)
Sabtu, 20 Oktober 2012
Rekam Jejak IPPHTI Di Sumba Timur (Tanam Padi Pola SRI)
Mempersiapakan
pengolahan tanah untuk tanam padi sebagai tempat tumbuhnya tanaman merupakankegiatan awal di lahan belajar sekolah lapang bagi
peserta SLPO Makamenggit.
Beda tempat
pasti beda budaya berlaku dalam segala bentuk bercocok tanam, hal ini sangat mempengaruhi pola unyuk berbudidaya tanaman.
Sedang tekstur tanah yang akan dijadikan lahan belajar di Makamenggit atau
tipikal tanah di Sumba Timur secara unum, apabila kering mengeras seperti batu,
bila direndam akan cepat hancur bagai bubur.
Lahan sudah
siap untuk ditanami, karena persemaian masuk hari ke sepuluh. Hari ini Sabtu tangagal 28-Januari-2012. Anggota SLPO
Makamenggit mulai belajar tanam padi pola SRI. Budidaya yang baru mereka
lakukan. Dengan sistim tanam satu anakan padi, bibit muda 10 hari setelah
semai.
Semua sibuk
ambil bagian, ada yang mencaplak lahan untuk ukuran jarak tanam 25 X25 cm , sebagian anggota mempersiapkan bibit dari persemaian sepertinya para peserta bekerja dengan semangat (mungkinkah..?), ingin
tahu seperti apa dan bagaimana tanam padi dengan pola SRI yang mereka terima
sebagai materi pemberdayaan.
Setelah siap
segalanya para peserta berjajar di lahan belajar dengan memegang bibit padi ditangannya.
Di komando oleh Pendampingnya dari Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia, IPPHTI.
" Hati-hati tanam satu, awas bulirnya terlepas dan akarnya terganggu." teriak Pendampingnya dari pinggir pematang.
karena baru seumur hidupnya dengan tanam seperti ini, ada yang gugup takut salah, ada yang terus tanam tanpa memperhatikan jaraknya sehingga harus diulangi kembali.Padahal sudah diberikan jarak dengan caplak 25 X 25 cm.
"Rumit,mudah tanam biasa warisan orang tua dulu." kata seorang peserta program, bersungut-sungut jengkel.
"awas jangan terlalu dalam tanamnya, harus dangkal dengan leter L." teriak pendamping lagi.
"Apa tidak mati bibit sekecil ini nantinya ?" tanya seorang peserta yang bernama Esrom.
"sudah ikuti saja intruksinya kalau mati semua kita bikin persemaian lagi sampai tua." timpal peserta sebelah Esrom. setengah menyindir pendampingnya.
"Wah bibit bakal tidak cukup, tanam saja rumput kan sama hijau dan kecilnya." sindir yang lain.
Proses tahapan tanam padi pola SRI sudah selesai.Di lahan belajar SLPO Makamenggit yang luasnya hanya lima are dalam waktu 27 menit. Bibit yang disangsikan oleh peserta program malah masih tersisa.
Petani peserta SLPO Makamenggit istirahat, setelah semuanya tuntas. tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka , seolah terkunci. bibit yang mereka sangsikan ternyata ada sisa. mungkin dalam benak mereka bertanya, ada keanehan apa lagi esok hari dan seterusnya?
kebiasaan tanam padi warisan nenek moyang biasa 5 sampai 7 anakan dalam satu tancapan , tiba-tiba hangus begitu saja dalam sekejap, harus tanam satu saja. Bibit masih kecil lagi?
Pergumulam dalam batin. pergulatan dalam benak memenuhi relung hatinya.
"kita tunggu saja bagaimana jadinya." Amos Pariwana bicara pada temannya.
"ini diluar kebiasaan..!! huuuhhh....!!!!
Rekam Jejak IPPHTI Di Sumba Timur (Persemaian Pola SRI)
Tahap
pertama program yang diperkenalkan pada peserta Sekolah Lapang Pertanian &
Peternakan Organik,SLPO Makamenggit , adalah seleksi Benih padi. Dimana seleksi
benih merupakan awal dari segalanya, jika seleksi ini tidak dilakukan, maka
dampaknya akan berakibat kurang memuaskan
saat panen nanti.
Seleksi
disandingkan dengan kebiasaan petani selama ini, kemudian direfleksi.
Setelah dipraktekan dengan sisitem
memakai telur dan garam, maka petani bisa mengambil kesimpulan mana yang
akan dan lebih bagus dari praktek
tersebut.
‘Kebiasaan
kami di sini direndam pakai air biasa saja, yang mengapung baru dibuang.” Kata
Rongga Miting, salah satu petani SLPO
Makamenggit.
“Ada satu
pembelajaran yang bisa diraih hari ini.”timpal Markus Dendungara,sesama
peserta.
Banyak
diantara peserta sekolah lapang yang penasaran dan bertanya dengan model
seperti ini, namun praktek yang dilihat sebagai jawabnya .
Selesai
melakukan seleksi benih beranjak maju ke
persemaian. Semua peserta menyiapkan lahan
dengan ukuran 70 X 120 meter persegi, ada yang menyiapkan tanah dan
pupuk, karung pelastik serta daun pisang.
Persemaian dilakukan di darat. Waktu itu para peserta
merasa aneh, sebab sepengetahuan mereka persemaian padi dimanapun pasti
tempatnya di sawah dengan membuat
bedengan, sedang ini? Ada kegamangan dalam benak petani, sejuta pertanyaan
benrkecamuk dalam pikirannya.
“Apakah
tidak salah bikin persemaian tempatnya di darat, terus tumbuhnya bagaimana
nanti?” Tanya Daud Duka selaku ketua kelompok mewakili teman-temannya.
Persemaian
jalan terus hingga selesai, dengan alas karung pelastik sebagai dasar, kemudian
dilapisi daun pisang lalu pupuk yang sudah dicampur dengan tanah dimasukan
tebalnya sekitar 10 cm, benih padi pun di tebarkan diatasnya dengan ditabur
tanah tipis atasnya.
Para peserta
SLPO Makamenggit, pulang kerumahnya masing-masing, mungkin hari ini ada satu
pengetahuan yang mereka dapatkan, namun ada pula yang bertanya-tanya. Biarlah
praktek persemaian yang tidak biasa ini akan
menjawabnya beberapa hari kemudian.
Selama ini
para petani jika mau tanam padi, membuat persemaian dengan jumlah banyak ,
berbeda sekali dengan pola SRI. Untuk kebutuhan lahan belajar yang hanya 5 are , cukup 250 gram saja benih padi.
Hampir semua
peserta menyangsikan , apakah bibit yang hendak ditanam akan cukup?bagaimana
jika kurang? Sementara lahan sudah
diolah?atau menunggu selesai tanam, baru buat persemaian lagi? huuh..
Berbagai petanyaan memenuhi benak para petani peserta, bahkan mungkin sumpah serapah. Ini di luar kebiasaan…!
Kamis, 18 Oktober 2012
Petani Sumba Timur : Kami Bukan Pemalas...!!
Macam ragam ungkapan untuk menggambarkan situasi Daerah dan
kondisi alamnya. Baik dari sisi positif perkembangan maupun sisi negatif daerah itu sendiri. Bumi
tempat dimana segala mahluk berpijak dan berkembang biak, namun tetap saja
mahluk yang namanya manusia paling berkuasa, bahkan paling serakah.
Kondisi alam yang ada terkadang kurang bisa dinikmatinya,
sebab selalu Ego yang menguasai dirinya, apalagi bersyukur.
Cuaca yang kurang bersahabat, hujan terus menerus
berdampak pada banjir, lalu kemarau panjang mengakibatkan kekeringan .
Kondisi ini tidak diterima sebagai
anugrah, atau pembelajaran agar kita mampu keluar dari kesulitan tersebut
justru selalu bersungut-sungut. Nada skeptis sudah menjadi makanan sehari-hari,
seolah tidak ada jalan lain sebagai pemecahannya. Lontaran-lontaran yang
bersifat stigmatis bagaikan sebuah “cap raksasa” yang tak mampu untuk dirubah,
atau diputar balikan menjadi sebuah kenikmatan yang berujung pada kemaslahatan
manusia di muka bumi ini.
Akibat dari “Cap Raksasa”
bahwa orang sumba “pemalas” justru
melahirkan kata “Migrasi”. Dimana para generasi berlomba pindah ke
kota-kota besar, menjadi kaum urbanis sekedar mengadaikan tenaganya. Padahal
tanah mereka luas, ternak banyak jika diolah dan diberdayakan.
Setelah menjadi kaum urbanis, mereka tidak kembali, malah
mengeluarkan stigma-stigma negatif “Cap
Raksasa” bagi kampung yang melahirkannya, kepada tanah leluhurnya.
Inilah Sumba dengan sebutan Pulau Arwah atau bumi Marapu.
Dimana sebagian besar daratannya merupakan padang savana. Jika musim kemarau
tiba padang rumput tadinya menghijau
berubah warna,menguning kering. Bahkan bukit-bukit menghitam akibat dibakar
tangan-tangan iseng,telanjang seperti raksasa yang tertidur pulas.
“Kami akan buktikan, pada keluarga dan khalayak bahwa kami
bukan pemalas.” Seru Mariana Hanna Mb,
seorang ibu rumah tangga, petani di Makamenggit. Sedang memikul air untuk
menyiram tanamannya.sebagian lagi ibu-ibu sengaja mengankut air dari sungai
pakai ember yang ditaruh di kepalanya.
“Sebetulnya selama ini tidak ada yang membimbing kami,
bagaimana mengolah tanah dengan baik, memelihara ternak yang menguntungkan,Kami
seolah berjuang sendirian.” Ujar Makahar Djawaraey, masih petani dari Desa
Makamenggit.
Para petani diatas bercerita, selama ini belum pernah ada
yang memberdayakan mereka,sebenarnya tanah-tanah mereka subur, meski dilanda
kemarau panjang tanah para petani tersebut
berdekatan dengan sungai. Namun baru kali ini dimanfaatkan.
“apa yang harus dilakukan, karena tidak ada yang memberitahu
caranya..? tambah Makahar lagi setengah
bertanya.
“Tahun lalu tanam sayurpun disekitar sungai ini hanya cukup
untuk keluarga, kalau lebih ya dijual, tapi sekarang semua petani berlomba,
mengngingat sudah ada yang membimbing, ini awal yang bagus.” Cerita Martin Djami, anggota SLPO Makamenggit."kami baru tahu ternyata banyak yang bermanfaat, yang bisa diolah tak perlu semuanya harus beli, asal mau berubah." ujar Martin lagi
Tampak tanaman sayur disekitar bantaran sungai Makamenggit menghijau,
kesibukan petani beragam ada yang sedang
menyiram. Mengikat tomat, memberikan kompos dasar. Dan sedang panen.
“Besok hari pasar , tiap hari kamis di dekat kantor
Kecamatan Nggaha Ori Angu, jadi sayuran ini disiapkan biar pagi langsung
berangkat.” Kata Nathalia, sedang memilah
milah jenis sayuran organik hasil panen dari teman-temannya sesama anggota SLPO
Makamenggit, untuk dibawa ke pasar .
“Sayuran yang saya bawa langsung laris banyak yang suka,
enak renyah, segarnya tahan , begitu .” Katanya lagi besemangat.
Nathalia dan kawan-kawan
merupakan anggota peserta program Pemberdayaan Pertanian Organik.
Dampingan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia, IPPHTI. Desa
Makamenggit kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur, NTT.
Paktor alam, iklim dan tanah. Adalah pendukung keberlangsungan dunia pertanian yang akan menghasilkan kebutuhan pangan bagi
bangsa ini. Tapi jika Sumber Daya Petaninya tidak diperhatikan, ketersediaan
pangan akan tergaggu.
Alam janganlah dijadikan kambing hitam. Apalagi bisa nya
hanya mengeleuarkan stigma-stigma negatif, pada daerahnya sendiri, hanya mampu memvonis. mereka “pemalas” tanpa bisa memberikan
jalan keluarnya. Itu tidak bijak.
Bisa memvonis harus bisa memberi solusi. Itu baru bijak
“Bangulah jiwanya….
“Bangunlah Badannya….
“Untuk Indonesia Raya……
(Radita)
Rabu, 17 Oktober 2012
Petani Sumba Timur : Rasanya Beda Ya...
Cuaca sangat
terik, mengingat kondisi alam sedang kemarau panjang. Ini tidak mengurangi
keceriaan para petani, Sekolah Lapang Pertanian Organik, SLPO Makamenggit, Desa
Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur ,NTT
Sejak
dilanda bencana rawan pangan pada 2011 lalu. Kemudian masuk, Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu
Indonesia,IPPHTI. Dalam program Pemberdayaan Pertanian Organik untuk mengatasi
rawan pangan, bekerja sama dengan DKH
dan Sinode Gereja Kristen Sumba,GKS
Sumba Timur.
Semangat ,
keceriaan seolah menghiasi keseharian masyarakat petani di Desa Makamenggit
ahir-ahir ini. Segumpal harapan dan setumpuk rencana untuk melakukan perubahan demi
tidak terulangnya bencana yang menimpa tahun lalu. Telah memenuhi benak mereka,
para petani.
Panas tengah
hari semakin tak kompromi, sekelompok petani peserta program berkumpul di bawah
pohon besar samping sungai dekat lahan belajar untuk berteduh dan berdiskusi.
Sambil sesekali ada teriakan Kakalak
yang menandakan kesukacitaan mereka , sebab para anggota SLPO Makamenggit hari
ini rabu,17-Oktober-2012 ,Panen Perdana Tomat. ini panen untuk kesekian kalinya dari
varietas hortikultura yang berbeda, sebab sebelumnya petani sudah panen Timun
dan Bunga Kol serta Petcay atau sawi krop.
Biasa
namanya juga masyarakat Sumba kalau kumpul pasti harus ada pahapa, dan ini
merupakan budaya yang tak bisa dipisahkan dari hidup mereka. Pahapa harga mati, Katanya.Terkadang
jika kumpul sering ada lontaran-lontaran yang bikin geli perut, apalagi yang
datang terlambat sering diolok-olok karena tidak kebagian Pahapa.
“Hari ini kami panen tomat perdana, kami bangga karena sudah melewati
proses.” Cerita Daud Turaamah anggota SLPO Makamenggit “ ternyata dengan pola
budidaya seperti ini sangat membantu, seperti cara merawat, cara memanen dan
kami belum pernah melakukan sebelumnya sebab tidak ada yang membibing, ini akan
menjadi bekal kami nanti.” Tambahnya puas.
Pendapat
Amos Pariwana lain lagi.” Ini sejarah bagi Desa Makamenggit, mungkin Sumba
Timur tanam tomat dan sayuran lain sampai ratusan. Disini tanam baru 50 pohon
saja sudah hebat.” Ujarnya menambahkan.
“Rasanya
sangat berbeda sekali Sayuran organik
dengan sayuran pakai pupuk dan obat-obatan kimia, kalau yang kimia ada getar di
lidah, terus ada rasa pahit. Ini saya ada pesanan sms dari Mertua di Lewa
sabantar sore harus diantar ke sana.Gara-garanya dulu panen sawi dikirim
sedikit” Cerita Daud Duka selaku ketua kelompok. Sambil menunjukan pesanan singkat
dari mertuannya dengan bangga.
“Wah dapat
duit gede nih, jangan lupa pahapa…” celetuk Markus Dendungara menggoda
ketuanya. Sambil ditimpali oleh anggota yang lain dengan teriakan Kakalak
“kami merasa beruntung ada bimbingan petani dari IPPHTI.” Kata Rehabiam Kilimandu,
seraya memperagakan tarian kandingang.
Tentu saja teriakan-teriakan Kakalak
pun menggemuruh, memekakkan telinga.
sekelumit
obrolan di atas mungkin tak berarti apa-apa bagi yang tidak perduli dengan
nasib petani, namun yang perlu dicatat adalah perjuangan, semangat mereka
sebagai petani yang ingin melakukan
suatu perubahan dalam hidupnya. Karena hanya dengan jasa para petanilah kita
bisa makan, dari jerih payah keringat mereka.
“Bangunlah
Jiwanya…
Bangunlah
Badannya..
Untuk Indonesia
Raya….
Catatan :
Pahapa = sirih pinang yang
dimakan (kunyah), budaya orang sumba
-Kakalak = teriakan saat panen ( sekarang sudah punah?)
- Kandingang = sebutan untuk tarian khas Sumba
Langganan:
Postingan (Atom)