Kamis, 02 Juli 2015

Menambah Pengetahuan, Menghapus Kerawanan Pangan
Geliat Sumba Menepis Kerawanan Pangan
Ninik Yuniati/wartawan portalkbr.com
Selasa, 30 Juni 2015 15.48 WIB
Rahmat Adinata


NINIK YUNIATI
KBR, Sumba Timur- Berjalan-jalan menelusuri Kampung Kalu, Prailiu, Kambera, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur di musim kemarau menjadi pengalaman yang menyenangkan. Pada sore hari, ketika sinar matahari merapat ke barat, warga ramai beraktivitas di kebun “milik” bersama yang berada di jantung pemukiman warga. Kebun seluas setengah hektar itu memberi nuansa berbeda di wilayah yang terkenal mempunyai rentang musim kemarau lebih panjang ketimbang musim hujan. Kebun itu tak tampak gersang. Justru kuncup-kuncup hijau bermunculan dari bibit sayuran yang telah ditanam lebih kurang selama satu minggu.

“Ada sayur putih, bawang, kangkung, kol,” celetuk Yeremias, seusai menyiram satu lajur lahan (bedeng) seluas 10 meter persegi yang dikerjakan ayah dan ibunya. Bocah berusia 12 tahun ini mengaku telah setahun turut bergumul di kebun. Sementara sang ayah, Lodu Tanggumara, mengawasi sambil sesekali memberi arahan. Dia bercerita, bercocok tanam sayuran telah dijalani selama 3 tahun.

Sebelumnya, lahan tersebut hanya dipakai menanam jagung. Ini lantaran, jagung hanya bisa tumbuh pada musim penghujan. “(Dulu-red) tanam jagung saja. Satu tahun 80 ikat atau 100 ikat. Cuma kan curah hujan sampai bulan April, kan sudah selesai hujan, jadi kita harap jagung saja,” kata dia.

Namun, setelah divariasikan dengan tanaman sayur, kebun tersebut memberi tambahan hasil yang lumayan bagi warga. Seperti dirasakan Yohanna, yang menanami enam bedengnya dengan bermacam sayur. Kata dia, dalam waktu sekitar satu bulan, kebun sayur siap dipanen dan dijual.

“Kalau ini satu bedeng panjang ini, bisa 600-700 (ribu) satu bulan lebih, langsung panen. Semuanya (6 bedeng-red) bisa 3 juta itu. Lumayan, untuk bantu anak-anak sekolah, beli buku, makan, kalau lebih, ditabung,” ungkapnya sambil tersenyum puas. Yohanna mengaku dengan berkebun, ia bisa memperoleh penghasilan sendiri dan tidak lagi bergantung pada suami.

Guna menjual hasil kebunnya, Ibu dua anak ini tak perlu susah payah berjalan ke pasar. Ia telah memiliki pelanggan tetap yang akan datang langsung, membeli dan mengangkut sayuran tersebut. Menurut Yohanna, sayuran dagangannya sangat diminati lantaran ditanam secara organik. Ia menjamin mutu dan rasanya jauh di atas sayuran yang memakai pupuk kimia. “Sayurnya enak nikmat gitu, beda memang, lain dari sayur yang di pasar yang pakai pupuk kimia,” ujarnya.

Menambah Pengetahuan, Menghapus Kerawanan Pangan

Hidup bergelimang pangan sepanjang tahun, sebenarnya termasuk pengalaman baru bagi warga Kalu maupun warga di sejumlah tempat lain di Sumba. Musim kemarau yang panjang hingga mencapai 9 bulan, membatasi pilihan warga untuk bercocok tanam. Kondisi ini menyebabkan warga Sumba berpotensi mengalami kerawanan pangan setiap tahunnya.

Perubahan mulai terjadi sejak ada bantuan atau masukan dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menggandeng warga lokal. Dua LSM yang serius menggarap potensi warga Kalu yakni Hivos dari Belanda dan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Menurut Rahmat Adinata, Koordinator IPPHTI Sumba, dirinya mulai melakukan pendampingan pertanian sejak Januari 2012.

Waktu itu, Sumba Timur tengah dilanda gelombang panas El Nino yang cukup panjang. Bencana ini membuat panen gagal, sehingga menyengsarakan warga karena tidak memiliki persediaan makanan. Sumba Timur mengalami kerawanan pangan.

“Saat Kabupaten Sumba Timur dilanda bencana rawan pangan dari tahun 2010 akibat kemarau panjang. Ya dampak El Nino, petani gagal panen. Hingga stok makanan habis. Dampaknya masyarakat hingga mengkonsumsi ubi hutan atau iwi (Bahasa Sumba-red) yang beracun tapi diolah dulu,” ungkap Rahmat.

Paham akan minimnya pengetahuan warga, Rahmat mulai menawarkan pertanian organik sebagai solusi masalah pangan. Di Prailiu maupun wilayah lain, program ini lebih menyasar pada perempuan sebagai pelaku utama. Menurut Rahmat, ini dikarenakan perempuan di Sumba rata-rata menganggur, tetapi memiliki potensi yang besar. “Sebab perempuan lebih ulet, teliti dan kompak dalam kerja daripada laki-laki. Perempuan lebih paham akan kebutuhan rumah tangga,” ujarnya.

Kemudian, Rahmat menginisiasi pembentukan kelompok-kelompok, dan mulai memberikan pelatihan dan modal untuk bertani. Benar saja, kelompok yang didominasi perempuan ini mampu menyerap pengetahuan dengan baik. “Dulu banyak anggota "KPK" (Kelompok Pencari Kutu) dan ini sudah menjadi tradisi di Sumba, sekarang berubah jadi KPS (Kelompok Penanam Sayuran),” kata Rahmat sambil bercanda.

Warga dilatih untuk tidak bergantung pada pupuk kimia, mampu membuat pupuk organik dan memproduksi bibit tanaman sendiri. Selain itu, warga diajarkan juga untuk peka terhadap perubahan iklim, sehingga mampu memprediksi waktu tanam yang tepat. Hingga pertengahan tahun ketiga, menurut Rahmat, lembaganya telah mendampingi sekitar 280 warga yang tersebar di Sumba Timur dan Sumba Barat Daya.

Bersinergi Dengan Ketahanan Energi

Selain fokus mengurus pertanian, IPPHTI juga bekerjasama dengan LSM Belanda, Hivos, mempertalikan ketahanan energi dengan pangan. Hivos mengedukasi dan memfasilitasi warga untuk memproduksi biogas dengan memanfaatkan kotoran ternak, terutama babi. Energi hasil produksi tersebut bisa menjadi pengganti minyak tanah. Potensi besar biogas terbaca dari tradisi masyarakat Sumba yang mayoritas memiliki ternak babi dalam jumlah banyak. Biasanya, kotoran ternak tersebut dibuang saja karena dipandang nihil manfaat.

Heinrich Dengi, warga Kalu, menjadi salah satu pelaku pemanfaatan biogas. Pada akhir 2011, ia menerima tawaran Hivos untuk membangun reaktor biogas ukuran terkecil 4 meter kubik di belakang rumahnya. Ia mengaku mengeluarkan dana sekitar 3-4 juta rupiah sewaktu membangun reaktor. “Sebenarnya total biaya sekitar 10 juta, karena disubsidi (dari Hivos), saya keluarkan sekitar 3,5-4 juta. Hivos tidak memberi gratis, agar warga merasa memiliki teknologi itu, jadi bisa merawat dengan baik,” kata Heinrich.

Sejak memasang reaktor, keluarga Heinrich tidak lagi bergantung pada minyak tanah untuk keperluan dapur. Namun, seiring waktu, Heinrich mulai mendapati nilai tambah lain dari reaktor tersebut, yakni untuk memproduksi pupuk organik. Sekitar Agustus 2012, ia dilatih oleh Rahmat IPPHTI memproduksi limbah biogas menjadi pupuk. Saat ini, pupuk cair buatannya, “Bioflurry” telah digunakan sebagai pupuk utama kelompok petani Prailiu.

“Sekarang saya nyesal karena punya biogas ukuran terkecil. Kalau awalnya saya tahu benar manfaat biogas, pasti saya mau buat yang ukuran 10 atau 12 meter kubik,” tutur lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini.

Saat ini, warga Kalu terus berupaya mengembangkan dan mengeksplorasi potensi pertanian dan energi. Salah satu yang didorong adalah mencari solusi untuk memperlancar akses terhadap air. Menurut Rahmat, warga Sumba memiliki tradisi unik dalam memperlakukan air. Kata dia, sejak dulu, mereka memilih tinggal di tempat yang jauh dari sumber air. Hal ini diakuinya agak mempersulit penyediaan air untuk mendukung aktivitas pertanian.

“Air sebetulnya ada seperti di sungai, danau atau embung dan mata air tapi mereka belum paham caranya saja. Ini ada pengaruhnya dengan budaya terdahulu, bahwa orang Sumba lebih suka hidup di atas bukit yang jauh dengan air,” terang Rahmat.

Selama tiga tahun terakhir, warga memperoleh akses air melalui pompa yang dibangun di dekat kebun. Namun, pompa tersebut masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Beberapa minggu terakhir, Heinrich dan beberapa warga mulai membaca kemungkinan penggunaan energi air untuk menggerakkan pompa. Mereka telah mencoba memasang kincir air di sungai terdekat.

“Kincir sudah jalan, cuma masih ada perbaikan sana sini, biar mantap. Kincir air bisa pompa air ke bak, sumber air dari sungai. Sementara pompa air masih pakai, tapi ke depan sepertinya tidak lagi,” jelas Heinrich.

Strategi yang sama, menurut Rahmat, juga dilakukan oleh warga dampingannya di Desa Kondamara, Kecamatan Lewa, Sumba Timur, dan Dikira, Sumba Barat Daya. Mereka memanfaatkan energi solar atau tenaga matahari untuk memompa air dari sungai ke kebun warga.

Editor: Dimas Rizky