Sabtu, 17 Mei 2014

Di Bawah Pohon Kahi


Jam sudah menunjukan pukul Sembilan pagi, namun cuaca sangat terik dan bawaannya ingin segera berteduh ke bawah pohon Kahi yang rindang. Matahari pun seolah berbisik “berteduhlah” .Maka aku pun tak kuat melanggar perintahnya.

Dalam hati sering bergumam,”beginikah Sumba” cuacanya begitu ekstrim hingga jadwal kegiatan di lapangan tidak sesuai harapan,terkeculai kulit ingin gosong. Namun benakku berbisik lagi.”mungkin belum terbiasa dengan cuaca sepanas ini”
Kadang juga termenung memperhatikan pohon Kahi yang selalu tegar tak menyerah dalam  situasi apapun. Di padang rumput yang gersang tumbuh subur. Posisinya selalu dijadikan ternak berteduh dari sengatan matahari. Masyarakat Sumba sering memanfaatkan jenis pohon ini sebagai pagar pembatas di padang – padang rumput.
Tak terasa bersandar di pohon Kahi hampir satu jam,namun udara semakin panas saja. Ada kerisauan yang begitu hebat hingga kantuk mengantarku pulas.
“Maaf tidak ada tepung kopi, gantinya dibawakan gula Sabu sama es batu.” Begitu bunyi suara Rambu. Aku tak menjawab hanya diam saja .
Dalam kepulasan tidurku terdengar ada bunyi sendok dan gelas saling beradu,namun mata ini tetap egois tak mau terbuka.
Beginilah kondisi cuaca di Sumba Timur dengan padang rumput yang menghampar dan dibatasi oleh lembah-lembah. Hampir tidak ada gunung tinggi.setiap bulan warna rumput selalu berubah sesuai dengan keadaan iklim.
Ada rasa dingin di tanganku padahal cuaca sedang teriknya.Ooh ternyata Rambu menempelkan minuman campur es batu hingga aku terjaga.
“Masyarakat  sudah terbisa dengan kondisi seperti ini.” Ujar Rambu sambil menyodorkan minuman yang dibuatnya padaku. Aku hanya mengangguk saja .
“Jika sudah merapat ke bawah pohon, bisa-bisa nanti sore dilanjutkan menunggu teduh kembali ,itu sudah jadi budaya di sini.” Rambu menjelaskan. Aku pun masih tetap diam . tidak menyahuti omongannya.
Mungkin karena aku tak angkat bicara rambu makin panjang lebar menjelaskan  tentang kondisi dan situasi daerahnya. Di sumba banyak kendala yang harus dihadapai oleh para petani jika ingin melakukan kegiatan.seperti paktor cuaca, sebentar-sebentar kita harus memenuhi undangan dari tetangga atau saudara dan itu wajib ,karena sudah turun temurun sifatnya.
Jika dicermati,Masyarakat Sumba Timur bukanlah tipe pemalas namun karena banyak paktor yang merongrongnya untuk maju.  Buktinya meskipun mereka setiap kali panen gagal , mereka tanam terus setiap tahun.Yang lebih utama adalah karena mereka tidak tahu caranya. Itulah kata Rambu
Ketika minuman dinginku hampir habis baru  aku angkat bicara “ bagaimana jika kendala itu dirubah menjadikan potensi? Kataku setengah bertanya.
“bagaimana caranya sebab ini sudah mengakar dari nenek moyang” tanya Rambu berbalik
“Sebetulnya tidak terlalu sulit merubah pola pikir masyarakat,namun jangan anggap enteng.” Jawabku agak berfilsapat.
Kami sama –sama terdiam, seolah sedang memikirkan masalah yang begitu dahsyiat menimpa alam ini.
“Ada beberapa hal yang harus dibangkitkan dari masyarakat hanya memulainya harus dari mana.” Ujarnya lirih setengah bertanya.
“Apanya yang harus dibangkitkan..? Tanyaku penasaran.
  Masyarakat di sini tidak berani bersaing.”
“Apa lagi..?”
“Cepat putus asa..”
“Apa lagi..?”
“Cepat puas jika pernah melakukan sesuatu pekerjaan.”
“Apa lagi..?”
Pertanyaan kali ke tiga Rambu tak berani menjawab . kami pun kembali terdiam . yaah…bagamana caranya merubah kendala menjadikan sebuah potensi agar masyarakat bisa maju dan sejahtera.Tentu saja di sini butuh keterlibatan semua pihak. Jika melamun sendirian di siang bolong itu hanyalah mimpi belaka,namun jika menghayal bersama-sama akan jadi kenyataan.
“Caranya..?” tanya rambu mendesakku
“Dimana bumi dipijak di situ kita berkarya baru langit bisa dijunjung.”  Jawabku sedikit berfilsapat lagi.
Terima kasih pohon Kahi telah memberiku naungan dari panasnya matahari siang ini. Hingga kami bisa berdiskusi tentang kondisi alam ini.

(Waingapu,Mei/2014)