Jam sudah
menunjukan pukul Sembilan pagi, namun cuaca sangat terik dan bawaannya ingin
segera berteduh ke bawah pohon Kahi yang rindang. Matahari pun seolah berbisik
“berteduhlah” .Maka aku pun tak kuat melanggar perintahnya.
Dalam hati sering
bergumam,”beginikah Sumba” cuacanya begitu ekstrim hingga jadwal kegiatan di
lapangan tidak sesuai harapan,terkeculai kulit ingin gosong. Namun benakku
berbisik lagi.”mungkin belum terbiasa dengan cuaca sepanas ini”
Kadang juga
termenung memperhatikan pohon Kahi yang selalu tegar tak menyerah dalam situasi apapun. Di padang rumput yang gersang
tumbuh subur. Posisinya selalu dijadikan ternak berteduh dari sengatan
matahari. Masyarakat Sumba sering memanfaatkan jenis pohon ini sebagai pagar
pembatas di padang – padang rumput.
Tak terasa
bersandar di pohon Kahi hampir satu jam,namun udara semakin panas saja. Ada
kerisauan yang begitu hebat hingga kantuk mengantarku pulas.
“Maaf tidak
ada tepung kopi, gantinya dibawakan gula Sabu sama es batu.” Begitu bunyi suara
Rambu. Aku tak menjawab hanya diam saja .
Dalam
kepulasan tidurku terdengar ada bunyi sendok dan gelas saling beradu,namun mata
ini tetap egois tak mau terbuka.
Beginilah
kondisi cuaca di Sumba Timur dengan padang rumput yang menghampar dan dibatasi oleh
lembah-lembah. Hampir tidak ada gunung tinggi.setiap bulan warna rumput selalu
berubah sesuai dengan keadaan iklim.
Ada rasa
dingin di tanganku padahal cuaca sedang teriknya.Ooh ternyata Rambu menempelkan
minuman campur es batu hingga aku terjaga.
“Masyarakat sudah terbisa dengan kondisi seperti ini.”
Ujar Rambu sambil menyodorkan minuman yang dibuatnya padaku. Aku hanya
mengangguk saja .
“Jika sudah
merapat ke bawah pohon, bisa-bisa nanti sore dilanjutkan menunggu teduh kembali
,itu sudah jadi budaya di sini.” Rambu menjelaskan. Aku pun masih tetap diam .
tidak menyahuti omongannya.
Mungkin
karena aku tak angkat bicara rambu makin panjang lebar menjelaskan tentang kondisi dan situasi daerahnya. Di
sumba banyak kendala yang harus dihadapai oleh para petani jika ingin melakukan
kegiatan.seperti paktor cuaca, sebentar-sebentar kita harus memenuhi undangan
dari tetangga atau saudara dan itu wajib ,karena sudah turun temurun sifatnya.
Jika
dicermati,Masyarakat Sumba Timur bukanlah tipe pemalas namun karena banyak
paktor yang merongrongnya untuk maju.
Buktinya meskipun mereka setiap kali panen gagal , mereka tanam terus
setiap tahun.Yang lebih utama adalah karena mereka tidak tahu caranya. Itulah kata Rambu
Ketika
minuman dinginku hampir habis baru aku
angkat bicara “ bagaimana jika kendala itu dirubah menjadikan potensi? Kataku
setengah bertanya.
“bagaimana
caranya sebab ini sudah mengakar dari nenek moyang” tanya Rambu berbalik
“Sebetulnya
tidak terlalu sulit merubah pola pikir masyarakat,namun jangan anggap enteng.”
Jawabku agak berfilsapat.
Kami sama
–sama terdiam, seolah sedang memikirkan masalah yang begitu dahsyiat menimpa
alam ini.
“Ada
beberapa hal yang harus dibangkitkan dari masyarakat hanya memulainya harus
dari mana.” Ujarnya lirih setengah bertanya.
“Apanya yang
harus dibangkitkan..? Tanyaku penasaran.
“ Masyarakat di sini tidak berani bersaing.”
“Apa
lagi..?”
“Cepat putus
asa..”
“Apa
lagi..?”
“Cepat puas
jika pernah melakukan sesuatu pekerjaan.”
“Apa
lagi..?”
Pertanyaan
kali ke tiga Rambu tak berani
menjawab . kami pun kembali terdiam . yaah…bagamana caranya merubah kendala
menjadikan sebuah potensi agar masyarakat bisa maju dan sejahtera.Tentu saja di
sini butuh keterlibatan semua pihak. Jika melamun sendirian di siang bolong itu
hanyalah mimpi belaka,namun jika menghayal bersama-sama akan jadi kenyataan.
“Caranya..?”
tanya rambu mendesakku
“Dimana bumi
dipijak di situ kita berkarya baru langit bisa dijunjung.” Jawabku sedikit berfilsapat lagi.
Terima kasih
pohon Kahi telah memberiku naungan dari panasnya matahari siang ini. Hingga
kami bisa berdiskusi tentang kondisi alam ini.
(Waingapu,Mei/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar