Selasa, 24 Mei 2016

Catatan Film Dokumenter : "Kita,Alam Dan Masa Depan"

Gambar diambil dari laptop

“Apa Mimpi bapak ke depan..?”

“Mimpi saya bagaimana caranya supaya petani itu cerdas,sebab ketahanan pangan itu dasarnya ketahanan pengetahuan petaninya dulu yang digarap. Jangan bicara produksi atau swasembada pangan sebelum petaninya dimuliakan,sebelum petaninya dicerdaskan terlebih dahulu.Swasembada merupakan otomatisasi dari tingkat kecerdasan atau SDM petaninya”

“Kemudian Pak...?”

“Semoga Sumba menjadi sebuah Pulau yang organik,sebab tanah ,air dan udaranya masih alami.”

Itulah bagian dari dialog dalam Film Dokumenter “Kita,Alam Dan Masa Depan” yang diproduksi oleh BaKTI dalam Program Pengelolanan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM) ,Proyek Kemakmuran Hijau dari MCAI.

Film Dokumenter  dengan durasi waktu 17,11 detik. Pertama kali diputar di Sumba Timur pada Hari Senin tanggal ,23 Mei 2016,bertempat di Kampus Universitas kriswina Sumba(UNWINA). Menghadirkan Kelompok Wanita Tani,Dinas Pertanian ,BP4K,DPRD Sumba Timur , beberapa LSM  serta jurnalis.Menurut manajer  BaKTI  area Sumba ,Wenda Radjah,Film Dokumenter ini akan terus bersafari atau road show ke tiap kabupaten di Pulau Sumba.

“BaKTI tugasnya mengkampanyekan hasil- hasil karya nyata yang ada di masayarakat ,baik itu berupa majalah,kartun dan Film Dokumenter,dengan nama pengetahuan hijau.” Ujar Riky sebagai Monev BaKTI saat membuka pemutaran perdana Film Dokumenter tersebut di Kampus UNWINA ,Waingapu Sumba Timur.

Dalam Film tersebut,Bagaimana Masyarakat Desa Aik Bual,Lombok ,NTB  menjaga sungai sebagai aliran urat nadi kehidupan,dengan menjaga dan membersihkannya dari sampah –sampah yang mengotorinya. “Jika di atas bersih maka di bawahpun harus bersih.” Begitu ucap Safarudin ,sebagai penggerak kebersihan sungai,dari Desa Aik Bual Lombok NTB.
Dari Narmada Kabupaten Lombok Barat,seorang ibu Hj.Ummi Ningsih bagaimana memanfaatkan sampah organik dan an organik hingga meningkatkan ekonomi rumah tangga bersama anggota ibu-ibu PKK di Desanya.

“Sampah organik kita beli dari mayarakat,kemudian dijadikan pakan ternak.kalau sampah an organik atau plastik kita daur ulang agar lebih berguna.” Ujarnya menjelaskan

Di Pulau Sumba
Liputan di Mauliru Sumba Timur
Liputan Film Dokumenter di Pulau Sumba hanya di Kabupaten Sumba Timur,NTT. Dalam Film , menggambarkan bagaimana cara tanam padi dengan sistim maju tidak mundur lagi “ Jika petani mau maju maka tanampun harus maju.” Begitu cuplikan dalam dialog Rahmat Adinata,dari Gerakan Petani Nusantara dengan Kadek Baruna ,di sawah  Mauliru ,Waingapu Sumba Timur.

Dari Lewa, Ibu Marthina Taraamah sebagai pengguna biogas menjelaskan,begitu besarnya manfaat memiliki biogas hingga limbahnya bisa digunakan sebgai pupuk organik. “Limbah biogas BIO SLURRY setelah dipermentasi mampu memperbaiki struktur tanah,menjaga unsur hara untuk keuburan tanah hingga prodktifitas pertanian meningkat.” Ujarnya
“Acara Ayo Bertani Organik” di radio Max 96,9 Fm  masuk dalam tayangan dokumenter tersebut,sebab bagaimanapun  petani memiliki hak yang sama dalam mendapatkan informasi.

“Selama ini ketika bertemu dengan petani terlihat betul bahwa mereka itu sangat  kurang informasi,mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi,seperti kenapa gagal panen terus,kenpa diserang hama terus. Di sini seperti ada informasi yang tidak sampai kepada petani.Nah di acara Ayo Bertani Organik,petani boleh berinteraksi langsung,boleh bertanya kemudian ada solusi-solusi yang praktis seputar persoalan-persoalan yang dihadapi oleh petani.” Jelas Heinrich Dengi ,sbg pemilik Radio MaxFm Waingapu Sumba Timur.

Terima kasih Yayasan BaKTI Makasar,semoga tontonan Film ini akan menjadi inspirasi dan tuntunan bagi siapapun yang menyaksikannya. (Radita,25/5/16)

Rahmat Adinata,Waingapu 25/5/16
Gerakan Petani Nusantara.











Minggu, 08 Mei 2016

Menghargai Yang Tidak Berharga

Petani sedang melakukan pengisian pupuk ke bekong dari daun pisang


Koker atau polibag secara umum masyarakat mengenalnya dari pelastik untuk persemaian tanaman.Namun yang dipraktekan oleh para petani organik di Kelompok Matawai Amah.Mereka memanfaaatkan bekong atau koker untuk tanaman persemaiannya dari daun pisang.
“Ini baru pertama kali bagi kami,ternyata sangat mudah pembuatannya serta bahan pun mudah didapatkan.Selama ini daun pisang  dibiarkan begitu saja.”  Ujar Paulus Warandoy,Ketua kelompok Matawai Amah,Desa Yubuway,Kecamatan Kahaungueti,Kabupaten Sumba Timur.

Susunan bekong dari daun pisang
Cara seperti ini bukanlah yang pertama di Yubuway,Sumba Timur.Awal mula pembuatan bekong dari daun pisang dikenalkan oleh Rahmat Adinata,bersama IPPHTI pada Sekolah Lapang pertanian Organik ,SLPO Makamenggit,Desa makamenggit,Kecamatan NGGOA.Tahun 2012.

Persemaian Paria dalam bekong siap tanam
Dengan menggunakan daun pisang selain praktis baik pembuatan maupun mendapatkan bahan yang sudah tersedia di alam sekitar,petanipun belajar menghargai lingkungan yang ada.Kelebihan daun pisang akan busuk dengan sendirinya berbeda dengan bahan koker plastik.

Sejarah awalnya dengan sistim bekong ini biasa diterapkan di daerah dataran tinggi penghasil hortikltura,seperti Pangalengan,Lembang Jawa Barat. Kini diterapkan di Pulau Sumba.Jenis sayuran yang sering pakai bekong biasanya tanaman hortikultura seperti :Kol,Tomat,Cabai,Kembang Kol,semangka,Melon,Paria hingga persemaian bawang merah dari biji.Hal ini bertujuan agar kondisi akar tidak terganggu saat melakukan penanaman.

Ibu  Ernesta Leha (ETA) di Persemaian hortikultura
Kelompok Matawai Amah,Yubuway
Banyak cara menyimpan tempat biji semai untuk Tanaman sayuran,buah-buahan dan sejenisnya.Ada dengan cara Brownies,Pocis,Bekong.Dengan cara Brownies tanah yang telah dicampur pupuk dicetak pakai alat khusus,agar membentuk kubus,Baru biji tanaman sayuran diletakan di atasnya.Sedangkan dengan cara bekong kita harus membuat terlebih dahulu lingkaran –lingkaran daun pisang dengan lebar 3 cm tinggi 3 cm,ditindik pakai lidi kering yang berfungsi sebagai pengunci daun.Biji semai sayuran kemudian ditutup dengan serbuk gergaji agar terasa ringan saat pertumbuhannya.

Dari cara-cara di atas agar persemaian tanaman tidak terganggu akarnya saat dipindah ke lahan dalam keadaan aman serta cepat adaftasi dengan kondisi barunya.
Tanam Kol  setelah dipindah dari persemaian
Untuk pembuktian tersebut,pada hari sabtu,8-Mei-2016 kelompok Matawai Amah,tanam kol dan Paria , telah menggunakan bekong dari daun pisang sebagai tempat biji semainya.Dalam pemindahanyapun tidak terlalu sulit.
“Kondisi tanaman setelah dipindah tetap kelihatan segar,sebab akarnya masih utuh.” Kata umbu Johanis,petani Yubuway anggota Kelompok Matawai Amah,Desa Yubuwai
Kondisi sumba dengan rentang kemarau panjang 8 hingga 9 bulan,alangkah bijak jika para petaninya dikenalkan pada praktek –praktek pertanian yang ramah lingkungan.Mengahargai yang tidak berharga hingga memiliki satu nilai,itulah esensi dari pertanian yang berkelanjutan yang orientasinya pada pertanian ramah lingkungan.


Rahmat Adinata,Waingapu (9/5/16)
Gerakan Petani Nusantara (GPN)







Jumat, 22 April 2016

Air... Dengan Tenaga Matahari Di Sumba Timur

Wilayah kabupaten sumba Timur,NTT. sangat terkenal dengan kekeringannya sebab masa kemarau dengan rentang waktu yang panjang,8 hingga 9 bulan.Begitupun dengan
Warga Kambo Umah yang  mayoritas petani rumput laut.Untuk mendapatkan air bersih harus bersusah payah baik musim hujan maupun musim kemarau. Hanya untuk mendapatkan air bersih harus menempuh jarak sekitar 6 kilo meter.
“Andaikan gali sumurpun airnya payau tidak layak untuk dikonsumsi.” Kata Agustinus Marapraing,ketua Proklim Desa Palanggay,Kecamatan Pahungalodu,Sumba Timur.
Menurut ketua proklim.”Terkadang masyarakat beli air bersih 50 liter seharga 30 ribu,atau lima liter air seharga 10.000,- rupiah.setiap hari Minggu suka ada mobil tangki jualan air ngantar ke sini.”

Namun kini,air itu sudah sampai di halaman rumah warga,berkat bantuan program SPARC kerja sama antara Kenenterian Lingkungan Hidup & Kehutanan,Kementerian Desa Tertinggal dan UNDP serta KOPPESDA sebagi mitra lokal.

Seejumlah 108 kk yang bisa menikmati air bersih bantuan tersebut.Air dengan teknik sumur bor , digerakan oleh energi matahari kemudian ditampung di bak,lalu dialirkan ke kemukiman warga,hingga warga Kambo umah tidak perlu lagi bersusah payah sepanjang tahun harus mendatangkan air dengan jarak yg cukup jauh.

Lokasi Sumur Borr
Keberadaan sumur borr terletak di padang rumpu dengan tkedalam sumur 72 meter , jaraknya cukup jauh dari pemukiman warga sekitar 1.5kilo meter. Namun setelah ditampung di bak semen ukuran 3 X 3 meter2, barulah air dilairkan dengan pipa ke pemukiman warga.
.

Recana Tanam Sayur
“Kami sangat bersyukur dan senang sekali sebab air sudah sampai di tempat melalui bantuan program SPARC.” Kata seorang ibu yang sedang mencuci pakain..”Rencana Kami mau tanam sayuran untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga ,kini air bukan masalah,merdeka sudah kami ini.” Katanya menambahkan kegembiraannya.
Betul apa yang diungkapkan oleh ibu tersebut sebab selama matahari bersinar akan mengalir terus,sedangkan kebutuhan air untuk rumah tangga  mungkin hanya beberapa persen saja.

Namun bila ketersediaan  air tersebut digunakan untuk budidaya sayuran akan sangat bermanfaat,sebab akan mampu memenuhi kebutuhan gizi bagi keluarganya.
“Selama ini kebutuhan sayur hanya berharap beli,namun karena air sudah tersedia berarti pengeluaran akan berkurang. Ini sangat bermanfaat sekali bagi Kami.” Kata si Ibu dengan semangat.

 Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan kita,namun seandainya sudah ada penggunaan atau tata kelola airpun harus dijalankan agar tidak terbuang percuma.Utamanya dalam perawatan supaya tetap langgeng masa pemakaiannya.

Selamat  kepada 108 Kepala Keluarga  di Kambo Umah Desa palanggay,Sumba Timur semoga mampu memanfaatkan air yang selama ini sulit didapat,kini sudah ada di depan rumah.

Ketahuilah banyak potensi yang bisa diberdayakan untuk masyarakat,seperti energi angin,matahari dan energi air untuk kesejahteraan warga.
 Apakah ketika tanah kita gersang ..jiwa kitapun harus ikut-ikutan gersang...?

Selamat Hari Bumi,kembalikan harkat dan derjat tanah sebagai rahim bumi kita....!!!



Rahmat Adinata,Waingapu 22/4/16

Ketua Nasional : Gerakan Petani Nusantara.




Sabtu, 16 April 2016

“Semai Biji Bawang Merah Dengan Daun Pisang”


Bawang merupakan kebutuhan dapur sebagai bumbu sekaligus sebagai sahabat kaum ibu untuk memanjakan keluarga dalam menghidangkan masakannya.Sebab jika masak tidak pakai bawang sebagai pengharum akan terasa kurang kenikmatannya.
Baru-baru ini, hari sabtu tanggal 16 April 2016 Kelompok Matawai Amah di Desa Yubuway,Kecamatan Pandawai,Kabupaten Sumba Timur. Mereka belajar persemaian bawang merah dari biji dengan tempat biji semai memanfaatkan daun pisang.Ini merupakan hal baru bagi petani organik di Yubuway.
“Tadinya daun pisang dibiarkan begitu saja,sekarang ternyata bisa dijadikan sebagai tempat biji semai.Kami jadi sadar untuk memelihara lingkungan  dan tanam pisang terus,sebab sudah paham kegunaannya. Dengan belajar bertani yang ramah lingkungan jadi meringankan petani.” Paulus Retang Warandoy,sebagai ketua Kelompok menjelaskan.

Untuk kebutuhan tempat biji semai mereka belajar membuat bekong dengan bahan dasar daun pisang.hingga jika dipindah ke lahan yang lebih luas kondisi akar tidak terganggu,sebab bekong tersebut tidak perlu dibuka,maka tanaman pun akan cepat menyesuaikan diri.akan sangat berbeda misalnya pakai plastik selain harus repot membuka ,yang lebih parah lagi akan menjadi sampah kebun,sebab tidak busuk.
.
Semai Biji Bawang

Semai bawang dari bijipun bagi Petani di  Desa Yubuway  merupakan hal baru dalam sejarah hidupnya,tentu saja sebab teknik ini belum lama di kenalkan pada masyarakat secara umum.
Awalnya begitu diberitahu akan tanam bawang dari biji,sepertinya mereka tidak percaya,sebab selama ini  yang mereka ketahui tanam bawang dari umbinya.Namun setelah diperlihatkan bentuk biji bawangnya baru mereka percaya.
“Tadinya saya pikir akang bercanda,sebab kami hanya tahu tanam bawang dari umbi,ini pengalamn baru bagi kami di Desa Yubuway.Semoga petani makin cerdas .” Harap Desi,bendahara kelompok.

Tanam bawang dari biji kelebihan yang didapat oleh petani selain paham akan keturunan selanjutnya,petani juga bisa mandiri dengan benih sebab benih merupakan roh-nya petani.Berbeda ketika petani ytanam dari umbinya,mereka tidak tahu bibit yang ditanam turunan ke berapa..?

Sedangkan dari sisi hasil produksi tidak kalah jauh bahkan bisa lebih baik tanam dengan biji,hanya tanam dengan biji butuh waktu sebab harus disemaikan terlebih dahulu.tanam dengan biji kebutuhan biaya benih lebih hemat dibanding dengan umbi.bayangkan jika satu hektar kebutuhan benih sekitar 1,5 ton (umbi) X Rp. 15.000/kg . Artinya petani untuk kebutuhan benih saja harus mengeluarkan biaya Rp.22.500.000,-. Bila petani tanam dengan biji kebutuhan per hektar hanya 3 kg saja,harga setiap kg biji Rp.3000.000,- atau Rp.9.000.000/ha. Irit khan....? 

Marilah kita memuliakan petani dengan membimbing mereka agar cerdas dalam pertaniannya.tidak menjadikan petani sebagai obyek,namun harus jadi subyek di lahannya masing-masing.

Rahmat Adinata,(Waingapu,17/4/16)

Ketua Nasional : Gerakan Petani Nusantara (GPN)

Kamis, 14 April 2016

Curhat Di Bukit Mauliru



(Fhoto By: Wenda Radjah)

Menyusuri bukit Persaudaran di Mauliru sungguh menguras tenaga,entah berapa kemiringan yang kutempuh.nampak dari atas perkampungan seperti Kawangu ,kambaniru,Kota Waingapu  dan Bandara Umbu Mehang kunda terlihat jelas dari atas bukit.Begitupun lautan yang berada di sebelah bandara UMK nampak biru.

(Fhoto By : Wenda Radjah)
Sesekali terdengar suara ringkik kuda yang bergerombol,sebab tegalan bukit persaudaraan sering dijadikan untuk melepas ternak peliharaan warga sekitar.padang yang hijau dengan hiasan pohon Kahi yang berdiri tegar.hembusan angin kencang dari bawah bukit mengantarkan kesejukan.

Hamparan sawah bervariasi.seperti carut marutnya warna kehidupan.ada yang sudah menguning padinya siap panen,ada yang baru hijau dan ada pula yang baru dibajak sawahnya.
“Di sini tidak ada istilah musim tanam atau musim panen. Setiap tanam tidak merata sesuai dengan keinginan petaninya.” Jelas seorang bapak yang sedang mengikat ternak kuda peliharaannya.

“Kami sedang mengalami gagal panen sebab kebanyakan padi terserang penyakit kuning daun ,serta pertumbuhannya tidak merata.Andaikan panenpun selalu kurang memuaskan dari tahun ke tahun padahal sudah berusaha keras semampu yang Kami bisa.” Jelasnya lagi
Padi yang terserang penyakit tungro

Lalu kami duduk sekedar bercerita sore itu sambil menikmati pemandangan  hamparan sawah sawah petani dari atas bukit.Menurut si bapak, petani di sini merupakan petani coba-coba. Jika ada serangan hama dan penyakit,ya sebisanya ditangani. Sebab bimbingan secara langsung sangat sulit ditemukan.Petani seolah berjuang sendirian. “mungkin para petugas sibuk hingga lupa pada tugas yang sebenarnya.’ Kata si bapak lagi setengah menyindir.
Jika mereka mendapat masalah kepada siapa harus mengadu? Beginikah kondisi para petani kita? Ironis memang ,di sisi lain laporan hasil produksi selalu bagus ,namun sisi lain  kenyataan di lapangan tidak sesuai fakta. Inikah yang dinamakan negara “Agraris?” dengan target menuju ketahanan pangan?

Suara ringkik kuda kembali terdengar,seolah membangunkan kegalauan.tidak terasa matahari mulai merah ,sebentar lagi akan menghilang.dan gelap. Si bapak teman ngobrol tadi mulai melepaskan ikatan ternaknya,menuntunnya menyusuri jalan terjal menuju rumahnya.

Hamparan sawah-sawah petani,perkampungan dengan banyaknya pohon lontar dan kelapa sore tadi nampak hijau,kini mulai berubah warna,hitam oleh gelapnya malam.
Selamatmalam bapak,selamat beristirahat.semoga rasa galaumu ada jalan keluarnya besok atau lusa nanti.biarlah hembusan angin menitifkan pada yang memiliki kebijakan.biarlah peluh keringatmu kali ini berakhir kecewa,tetaplah bertahan.Sebab tanpa perjuanganmu bangsa ini mau makan apa?

Sekembalinya di rumah,karena rasa cape ,lelah dan galau.tubuh mulai direbahkan,namun masih saja ucapan si bapak  sore tadi masih terngiang hingga mata sulit terpejam .”Petani di sini petani coba coba dan butuh bimbingan.” Hmmmmm...........


Rahmat Adinata
Waingapu,11/4/16

Ketua nasional : Gerakan Petani Nusantara (GPN)











“Rambu..Jangan Galau....”

(Fhoto by : Imelda )
“jangan heran setiap bulan Oktober atau Nopember suhu mulai naik panas menyengat,sebab tadinya padang rumput kini warnanya mulai menghitam,rerumputan yg menyelimuti bebatuan muali nampak telanjang,langsung kena sinar matahari.” Rambu mulai bercerita

Hmmm daerah Napu,Sumba Timur  memang dikenal dengan kegersangannya,namun yang mengherankan dan takjub warganya cukup kuat bertahan walau dengan iklim yang ekstrim begini.lalu bagaimana cara menyiasatinya? Dalam persediaan pangan mereka seelama kemarau panjang?lagi –lagi rambu tidak bosan berbagi cerita.

“Jika kemarau begini Kami terbiasa mengambil air sekedar untuk minum jaraknya cukup jauh sekitar 5 km dengan jalan kaki,hanya untuk mendapatkan satu jerigen lima liter air saja. Lebih parah lagi waktu itu orang Wunga,jalan kaki 3 km dengan menuruni tebing terjal  kedalaman 120 meter lalu kemiringannya sekitar 90 derajat.mengambilnya pun harus sama sama saat pagi hari,sebab jika sudah agak siang cuku panas dan menguras tenaga.Tapi sekarang orang wunga sedikit merdeka ,ada yang membuatkan sumur pada tahun 2012,kedalamannya hanya 26 meter saja.Yang buat dari Radio Max Fm Waingapu.” Cerita Rambu agak panjang.

(Fhoto By : Wenda Radjah)
Matahari semakin terik saja panasnya walau sudah condong ke sebelah barat.beruntung saat ngobrol dengan Rambu, ada pohon asam bisa dijadikan pelindung.Sesekali angin bertiup agak kencang hingga membuat mata terasaa lelah. Panas,kering mana air sangat sulit lagi.pikirku dalam hati.Nampak segerobolan ternak sedang berjalan seperti bingung.mungkin lapar dan haus,namun apa yang mau dimakan saat kemarau panjang begini?
“Ini ada air dan makanan khas daerah sumba.”Ujar Rambu menggoyahkan lamunanku.”Tadi Appu ada antar air dan makanan,ketika Akang tertidur,sekarang Appu sudah kembali ke rumahnya lagi.”sambung Rambu

Nampak ada makanan khas, namanya manggulu yang terbuat dari pisang dan kacang tanah yang ditumbuk.Hmmm cukup mengasyikan memang sore ini.menurut Rambu,pisang di daratan Sumba sangat sulit sekarang ini sebab semua terserang penyakit darah dan belum ada tindakan apa-apa dari pemerintah setempat.Keluarganya terbiasa menyimpan benih jagung dengan cara dililitkan ke pohon kelapa,pohon lontar atau pohon asam.ketika menjelang musim hujan baru benih itu di turunkan untuk di tanam.lama penyimpanan sekitar 8 hingga 9 bulan,dan itu adalah caranya bertahan dalam menghadapi iklim yang ekstrim .Andaikan tidak ada beras jagung itu bisa diturunkan,dibuat Uhuwatar (Nasi Jagung) atau jia mau dibuat younggang.Makanan khas orang Sumba dengancara dibakar diatas bara api memakai seng kemudian digoyang –goyang.Hingga hasil jagunya merekah,barulah bisa dikonsumsi sebagai makanan ringan .Namun katanya sekarang sudah jarang orang melakukannya,padahal itu merupakan warisan budaya nenek moyang orang Sumba.
“Sekarang bibit lokalpun hampir sulit,sebab tergeser oleh bibit hibrida. Kalau bibit lokal tahan simpan,sedang bibit jagung hibrida bantuan pemerintah cepat bubuk tidak tahan simpan.Andaikan bibit lokal hilang atau punah dengan kondisi kebiasaan iklim di Sumba yang panjang kemaraunya hingga 9 bulan ,bukan tidak mungkin akan terkena bencana kelparan.”  Nada bicaranya Rambu agak galau.

Di tingkat lapangan  masyarakat petani tidak bisa membedakan antara lokal dan  hibrida,akhirnya bibit lokal akan punah dengan sendirinya.sebab katanya bibit hibrida lebih bagus hasil panennya.sementara dari cara perawatannya disamakan dengan bibit jagung lokal,maka hasilnya pun akan sangat berpengaruh. Kemudian lagi hibrida tidak bisa ditanam kembali,berbeda dengan bibit lokal yang dimiliki oleh petani sudah beradaftasi dengan iklim dan tanah sumba.

“Harusnya pemerintah paham akan hal itu,lucunya bantuan bibit juga tidak sedikit dari pemerintah pusat,seperti Bantuan langsung Benih Unggul (BLBU)namun tidak sampai ke tangan petani sebab dikorupsi.Dari bantuan bibit saja banyak pejabat  yang ditangkap akibat menipu petani dengan memanfaatkan jabatannya.”

 Ada rasa galau yang mendalam pada jiwanya.Kegusaran yang beralasan tentang nasib petani dan tanah kelahirannya.Kering dan gersang sudah langganan setiap tahun,namun masih saja ada yang memanfaatkan kesempatan untk menipu petani.
Terima kasih Rambu ceritanya.Semoga akan sedikit berubah nantinya daerahmu.tetaplah bersemangat dan teruslah berusaha serta berdoa pada Pencipta Alam Semesta......
Ya Alloh Engkaulah Pembimbing dan Pembina kehidupanku........

Rahmat Adinata,(Waingapu 15/4/16)
Ketua Nasional : Gerakan PetaniNusantara (GPN)


Catatan: Rambu : Panggilan untuk Perempuan (Bahasa Sumba)
              Appu    : Nenek (Sumba)
              Manggulu : makanan khas Sumba yang terbuat dari pisang dan kacang tanah yang ditumbuk.







Lumbung Benih Melawan Rawan Pangan


Bibit Bawang Merah lokal Sumba
Satu generasi,namanya lumbung benih untuk mendorong  lumbung pangan mulai terlupakan. Andaikan ada pun hanya sebagaian ,itupun ada di daerah -daerah yang sulit terjangkau oleh informasi kota. Pihak yang memiliki kebijakan di Negara ini rencana menginstruksikan membuat lumbung benih hanyalah retorika belaka. Hanya bagus di berita media saja.Kenyataannya tetap saja petani seperti dibikin obyek.

Banyak daerahpun dulunya terkenal dengan sebutan lumbung pangan,kini hanya tinggal kenangan.Begitupun dengan keberadaan lumbung benih.

Bibit lokal tahan simpan
dililitkan pada pohon
“Kita tidak menolak bantuan bibit hibrida dari pihak manapun,hanya yang lebih dulu kita tanam adalah bibit lokal  saat musim hujan tiba,sedangkan bibit jagung hibrida juga  tanam hanya alakadarnya , ketika musim hujan mau berakhir.” Ujar kepala desa Laimbonga ,Kecamatan Kahaungueti kabupaten sumba timur.

“Bibit hibrida tidak kuat disimpan lama,berbeda dengan bibit lokal yang pertama kita tanam bisa berbulan bulan tahan simpan” tambah kepala desa lagi

Sudah  lama kita tidak mendengar istilah "Lumbung Benih" apa lagi "Lumbung pangan" di Desa –Desa ,apa lagi menemukannya .Benih sekarang sudah ada di toko,pangan bisa dibeli dari negara tetangga alias diimpor.Jika benih sudah tersedia di toko-toko pertanian otomatis memanjakan petani dan membuat ketergantungan,sebab hanya sekali tanam ,sekali panen,setelah itu benih harus beli kembali.Hanya memperkaya pemodal besar.
Bibit Jagung Lokal dililit di pohon waru
ala petani Sumba

Pangan..? jangan khawatir negara kita sangat kaya untuk belanja  & mensubsidi pangan bagi rakyatnya sampai saat ini . Terbukti masih ada beras murah(jika malu dikatakan beras miskin) yang membuat gemuk para pengusaha dan mencekik para petani.semoga jargon gembar gembor kementan baru baru ini rencana akan serap gabah petani bukan hanya bagus di media namun ada tindak lanjutnya atau gagasan jangan hanya jadi  teori saja.
Lalu berapa yang layak harga gabah yang bisa mensejahterakan petani? Datapun simpang siur antara keberpihakan ke pengusaha dan mengorbankan nasib petani sebagai obyek.
Dahulu kita bangga dengan sebutan sebagai negara “Agraris” namun kini, sebutan itu seolah nyemplung ke got yang paling dalam.Kita sudah jadi bangsa yang konsumtif ,padahal sesungguhnya tanah subur,iklim cocok  dan  petaninya mau bekerja keras. Lagi lagi dalam hal ini petani selalu ada dalam titik yg tidak menyenangkan.

Sejatinya Negara harus bertanggung jawab sebab memiliki andil memupus atau
Penyimpanan bibit bawang merah,digantung di atap rumah
(Di Sumba Timur)

melenyapkan para petani muda sebagai penerus negara agraris ini,sebab kebijakannya tidak berpihak pada petani.sebab bertani sudah tidak menjanjikan lagi sebagai mata pencaharian.Bisa dibayangkan ,jika tidak ada petani bangsa ini mau makan apa?

Lumbung Benih
Benih /bibit adalah hal yang paling mendasar bagi  petani sebab benih merupakan Roh-nya petani.Saat ini benih dikuasai oleh para kapitalis,dan sangat sedikit petani di desa yang berpikir untuk membangun lumbung benih.Petani tidak bisa disalahkan,sebab tergeser oleh keberadaan benih –benih hibrida hasil karya para pemodal besar.
Bantuan –bantuan benih hibrida yang  memusnahkan bibit lokal, secara tidak sadar kita sedang berada pada jalan menuju kerawanan pangan.otomatisasinya kesetabilan negarapun akan terancam,sebab pangan merupakan kebutuhan yang paling pokok bagi bangsa ini.

Bibit jagung lokal Sumba
digantung di pohon asam selama 7-8 bulan
Lumbung Benih identik dengan lumbung Pengetahuan
Lumbung benih sebagai persediaan cadangan keberlanjutan pangan sekaligus sebagai lumbung pengetahuan bagi para petani,sebab dari keturunan benihlah pengetahuan akan didapat oleh para petani.
Jangan bicara produksi atau swasembada pangan jika petaninya tidak dimuliakan.alasannya andai para petani cerdas produksi merupakan hasil otomatisasi dari kecerdasan dan semangat paetani itu sendiri.Petani harusnya dibekali sumber daya manusianya (SDM)nya.

Pertanyaannya kapan lumbung benih yang dulu pernah jaya akan bisa bangkit kembali..?


Rahmat Adinata,(Waingapu 14/4/16)
Ketua Nasional : Gerakan Petani Nusantara (GPN)






Senin, 28 Maret 2016

TANAM PADI CARA MAJU : Rahmat Adinata

Tanam Padi Pola SRI
tidak perlu mengeluarkan biaya cabut bibit

Pertama kali Di Sumba
Cukup dengan pelepah Pisang
sangat sederhana bagi petani
Awal mula dan pertama kali di Nusantara ini tanam padi pola SRI dengan cara maju dikenalkan di  Pulau Sumba,NTT. Tepatnya daerah Lairina ,Desa Tanarara,Kecamatan Lewa Kabupaten Sumba Timur. Di lokasi kebun model Sumba Lima Organik,pada bulan juni tahun 2015. Kemudian berlanjut di Desa Palanggay ,Kecamatan Pahunga Lodu, bulan Agustus tahun 2016, dalam program SPARC-UNDP bersama Koppesda,Sumba,NTT
Selanjutnya tanam padi maju dengan bibit padi hitam dipraktekan pula di Desa Dasaelu,Makatul kabupaten Sumba Tengah,lahan milik pak Sofren Marisi. Untuk praktek tanam maju pada padi sawah  dengan pola SRI (system Rice of Intensification) terahir pada program SPARC-UNDP di Desa Rakawatu,Kecamatan Lewa,Kabupaten Sumba Timur.pada tanggal 8 pebuari-2016.

Awalnya Masyarakat Menolak
Ketika pertama kali dikenalkan tanam padi cara maju,awalnya petani bingung sebab selama ini tanam mundur(Tandur) dan hanya di budidaya padi gaya tanamnya yang mundur.Kebiasaan masyarakat petani di pulau Sumba tanam padi menggunakan tali sebagai jarak tanam.jarang dan hampir tidak ada ketika tanam padi sawah menggunakan caplak sebgai jarak tanamnya.
“Kebiasaan tanam mundur sudah sejak lama  turun temurun dari nenek moyang,masa harus tanam maju,terus tidak pakai tali lagi bingung saya kang..” ujar  John Tnagguh salah seorang petani di Desa Dasaelu,Makatul Sumba Tengah.agak sedikit pesimis dengan tanam padi cara maju.
“Apakah nanti tidak terinjak saat melakukan tanam maju,padahal bibit padi yang kita tanam baru berumur 8 hari baru keluar tiga atau empat daun kecil.?” Tanya Umbu Tana Homba saat praktek di lahannya daerah Rakawatu Sumba Timur.

Penyerahan bibit pada Petani
Jawaban dari  Praktek
Praktek Tanam maju
di Sumba Tengah
Rasa penasaran,pesimis,bingung  bahkan mungkin jengkel sebab kebiasaan harus segera diganti dengan kebiasaan baru.Tanam dengan menggunakan caplak sebagai alat ukur jarak tanam,tidak menggunakan tali lagi adalah sesuatu hal yang berat bagi mereka. Namun setelah dipraktekan,barulah mereka paham dan mengerti.Sebab hasil pencaplakan sudah ada jejak untuk jarak tanam.

“Awal mulanya memang ragu namun setelah praktek langsung ternyata sangat mudah,padahal baru pertama kali melakukan.” Ujar John Tangguh ,Petani dari Sumba tengah sudah tidak bingung lagi seperti dugaan sebelumnya.
Lain pendapat John Tangguh ,lain pula pendapat mama Dorkas dari Desa Rakawatu. “ Dengan adanya pencaplakan dan tanam maju ternyata lebih mudah serta lurus,berbeda saat kita tanam mundur pasti ada yang bengkok .Tidak ada kesulitan sedikitpun.” Kata mama Dorkas menjelaskan pengalaman yang baru dijalaninya.

Hanya Merubah Paradigma
Baik tanam mundur maupun tanam maju sama- sama tanam padi. Merubah paradigma masyarajat petani bisa dikatakan gampang,namun jangan menganggap enteng.Tanam maju hanya untuk merubah paradigma petani,jika ingin maju jadi petani tanampun harus maju,tidak mundur lagi seperti kebiasaan.
Sosok petani merupakan makhluk yang paling berjasa bagi negara ini,sebab jika tidak ada petani kita mau makan apa..? bisa dibayangkan andai pangan kita terganggu dengan jumlah populasi penduduk semakin bertambah,maka kestabilan sosial dan politik akan terganggu. Hargailah jasa petani dan jangan dijadikan obyek !


“Jangan bicara produksi dan swasembada pangan,jika petaninya tidak dimuliakan...!!”

Rahmat Adinata,Pengurus Nasional Gerakan Petani Nusantara( GPN)
(Waingapu,Sumba Timur,NTT . 28/3/16)








Kamis, 18 Februari 2016

Tanam Maju Pola SRI di Sumba,NTT.


Persemaian Padi Usia8 hari siap tanam
Sumba Timur.Pola SRI atau System Rice of Intensification merupakan cara tanam padi yang hemat bibit (hanya 8 kg perhektar),hemat air (tidak digenangi terus menerus),tanpa biaya cabut,tanam tunggal (hanya satu anakan padi),tanam muda(hanya 8 -10 hari setelah semai (hss)) hanya menggunakan pupuk dan pestisida organik,dengan potensi hasil mencapai 8-12 ton perhektar.
Baru baru ini tanggal 10 –Pebruari 2016  di kelompok kampung iklim (Proklim )Desa Rakawatu Kecamatan Lewa,Kabupaten Sumba Timur. Para Petani belajar tanam padi Pola SRI dengan cara maju,bukan mundur lagi seperti biasanya.Cara tersebut merupakan hal baru yang diperkenalkan oleh Rahmat Adinata dari Gerakan Petani Nusantara,dalam program SPARC_UNDP yang bekerja sama dengan KOPPESDA Sumba
Benuh Padi siap tanam pakai pelepah pisang
(Tanpa Biaya cabut)
.
Awalnya para petani merasa riskan sebab tidak biasanya mereka tanam maju,namun setelah melakukan praktek dalam sekolah lapang akhirnya mereka menjadi terbiasa.
“Karena ini merupakan hal baru bagi kami petani di Desa Rakawatu jadi wajar saja jika tidak lancar seperti yang biasa kami lakukan yaitu tanam mundur,namun dengan cara tanam maju bagus juga sebab bisa lebih cepat.” Ujar mama Dorkas ,anggota Kemas Proklim Desa Rakawatu.
Tanam Padi dengan cara maju,di Desa rakawatu,
Kecamatan Lewa_Sumba Timur_NTT

“Biasanya kami tebar benih sekitar satu kwintal atau 100 kg perhektar,sedangkan dg pola SRI hanya 8 kg saja,tambah lagi ada pengalaman baru yaitu tanam padi cara maju ini pengalaman baru bagi kami di sini sebagai petani,semoga para petani makin sejahtera dengan menambah wawasan baru ini.kami snagat bersyukur.” Umbu Tana Homba menambahkan pendapatnya,sesama anggota Kemas Proklim Desa Rakawatu,Sumba Timur.

Ya tanam, baik mundur maupun maju bukan lah hal yang penting,namun yang perlu ditekankan bagamana memposisikan petani sebagai subyek bukan dijadikan obyek. Terkadang petani selalu dijadikan kambing hitam saat pangan kurang akibat gagal panen,hingga membuka peluang untuk menciptakan lahirnya mafia pangan di Negri ini.
 Semoga dengan adanya sekolah lapang ditingkat petani sumberdaya manusia petaninya akan semakin maju dalam mewujudkan kedaulatan pangan,agar keberadaan pangan tidak selalu dikirim dari negara tetangga.

(Rahmat Adinata/Waingapu_19/2/16)





TANAM PADI CARA MAJU di Sumba,NTT