Kamis, 14 April 2016

“Rambu..Jangan Galau....”

(Fhoto by : Imelda )
“jangan heran setiap bulan Oktober atau Nopember suhu mulai naik panas menyengat,sebab tadinya padang rumput kini warnanya mulai menghitam,rerumputan yg menyelimuti bebatuan muali nampak telanjang,langsung kena sinar matahari.” Rambu mulai bercerita

Hmmm daerah Napu,Sumba Timur  memang dikenal dengan kegersangannya,namun yang mengherankan dan takjub warganya cukup kuat bertahan walau dengan iklim yang ekstrim begini.lalu bagaimana cara menyiasatinya? Dalam persediaan pangan mereka seelama kemarau panjang?lagi –lagi rambu tidak bosan berbagi cerita.

“Jika kemarau begini Kami terbiasa mengambil air sekedar untuk minum jaraknya cukup jauh sekitar 5 km dengan jalan kaki,hanya untuk mendapatkan satu jerigen lima liter air saja. Lebih parah lagi waktu itu orang Wunga,jalan kaki 3 km dengan menuruni tebing terjal  kedalaman 120 meter lalu kemiringannya sekitar 90 derajat.mengambilnya pun harus sama sama saat pagi hari,sebab jika sudah agak siang cuku panas dan menguras tenaga.Tapi sekarang orang wunga sedikit merdeka ,ada yang membuatkan sumur pada tahun 2012,kedalamannya hanya 26 meter saja.Yang buat dari Radio Max Fm Waingapu.” Cerita Rambu agak panjang.

(Fhoto By : Wenda Radjah)
Matahari semakin terik saja panasnya walau sudah condong ke sebelah barat.beruntung saat ngobrol dengan Rambu, ada pohon asam bisa dijadikan pelindung.Sesekali angin bertiup agak kencang hingga membuat mata terasaa lelah. Panas,kering mana air sangat sulit lagi.pikirku dalam hati.Nampak segerobolan ternak sedang berjalan seperti bingung.mungkin lapar dan haus,namun apa yang mau dimakan saat kemarau panjang begini?
“Ini ada air dan makanan khas daerah sumba.”Ujar Rambu menggoyahkan lamunanku.”Tadi Appu ada antar air dan makanan,ketika Akang tertidur,sekarang Appu sudah kembali ke rumahnya lagi.”sambung Rambu

Nampak ada makanan khas, namanya manggulu yang terbuat dari pisang dan kacang tanah yang ditumbuk.Hmmm cukup mengasyikan memang sore ini.menurut Rambu,pisang di daratan Sumba sangat sulit sekarang ini sebab semua terserang penyakit darah dan belum ada tindakan apa-apa dari pemerintah setempat.Keluarganya terbiasa menyimpan benih jagung dengan cara dililitkan ke pohon kelapa,pohon lontar atau pohon asam.ketika menjelang musim hujan baru benih itu di turunkan untuk di tanam.lama penyimpanan sekitar 8 hingga 9 bulan,dan itu adalah caranya bertahan dalam menghadapi iklim yang ekstrim .Andaikan tidak ada beras jagung itu bisa diturunkan,dibuat Uhuwatar (Nasi Jagung) atau jia mau dibuat younggang.Makanan khas orang Sumba dengancara dibakar diatas bara api memakai seng kemudian digoyang –goyang.Hingga hasil jagunya merekah,barulah bisa dikonsumsi sebagai makanan ringan .Namun katanya sekarang sudah jarang orang melakukannya,padahal itu merupakan warisan budaya nenek moyang orang Sumba.
“Sekarang bibit lokalpun hampir sulit,sebab tergeser oleh bibit hibrida. Kalau bibit lokal tahan simpan,sedang bibit jagung hibrida bantuan pemerintah cepat bubuk tidak tahan simpan.Andaikan bibit lokal hilang atau punah dengan kondisi kebiasaan iklim di Sumba yang panjang kemaraunya hingga 9 bulan ,bukan tidak mungkin akan terkena bencana kelparan.”  Nada bicaranya Rambu agak galau.

Di tingkat lapangan  masyarakat petani tidak bisa membedakan antara lokal dan  hibrida,akhirnya bibit lokal akan punah dengan sendirinya.sebab katanya bibit hibrida lebih bagus hasil panennya.sementara dari cara perawatannya disamakan dengan bibit jagung lokal,maka hasilnya pun akan sangat berpengaruh. Kemudian lagi hibrida tidak bisa ditanam kembali,berbeda dengan bibit lokal yang dimiliki oleh petani sudah beradaftasi dengan iklim dan tanah sumba.

“Harusnya pemerintah paham akan hal itu,lucunya bantuan bibit juga tidak sedikit dari pemerintah pusat,seperti Bantuan langsung Benih Unggul (BLBU)namun tidak sampai ke tangan petani sebab dikorupsi.Dari bantuan bibit saja banyak pejabat  yang ditangkap akibat menipu petani dengan memanfaatkan jabatannya.”

 Ada rasa galau yang mendalam pada jiwanya.Kegusaran yang beralasan tentang nasib petani dan tanah kelahirannya.Kering dan gersang sudah langganan setiap tahun,namun masih saja ada yang memanfaatkan kesempatan untk menipu petani.
Terima kasih Rambu ceritanya.Semoga akan sedikit berubah nantinya daerahmu.tetaplah bersemangat dan teruslah berusaha serta berdoa pada Pencipta Alam Semesta......
Ya Alloh Engkaulah Pembimbing dan Pembina kehidupanku........

Rahmat Adinata,(Waingapu 15/4/16)
Ketua Nasional : Gerakan PetaniNusantara (GPN)


Catatan: Rambu : Panggilan untuk Perempuan (Bahasa Sumba)
              Appu    : Nenek (Sumba)
              Manggulu : makanan khas Sumba yang terbuat dari pisang dan kacang tanah yang ditumbuk.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar