Macam ragam ungkapan untuk menggambarkan situasi Daerah dan
kondisi alamnya. Baik dari sisi positif perkembangan maupun sisi negatif daerah itu sendiri. Bumi
tempat dimana segala mahluk berpijak dan berkembang biak, namun tetap saja
mahluk yang namanya manusia paling berkuasa, bahkan paling serakah.
Kondisi alam yang ada terkadang kurang bisa dinikmatinya,
sebab selalu Ego yang menguasai dirinya, apalagi bersyukur.
Cuaca yang kurang bersahabat, hujan terus menerus
berdampak pada banjir, lalu kemarau panjang mengakibatkan kekeringan .
Kondisi ini tidak diterima sebagai
anugrah, atau pembelajaran agar kita mampu keluar dari kesulitan tersebut
justru selalu bersungut-sungut. Nada skeptis sudah menjadi makanan sehari-hari,
seolah tidak ada jalan lain sebagai pemecahannya. Lontaran-lontaran yang
bersifat stigmatis bagaikan sebuah “cap raksasa” yang tak mampu untuk dirubah,
atau diputar balikan menjadi sebuah kenikmatan yang berujung pada kemaslahatan
manusia di muka bumi ini.
Akibat dari “Cap Raksasa”
bahwa orang sumba “pemalas” justru
melahirkan kata “Migrasi”. Dimana para generasi berlomba pindah ke
kota-kota besar, menjadi kaum urbanis sekedar mengadaikan tenaganya. Padahal
tanah mereka luas, ternak banyak jika diolah dan diberdayakan.
Setelah menjadi kaum urbanis, mereka tidak kembali, malah
mengeluarkan stigma-stigma negatif “Cap
Raksasa” bagi kampung yang melahirkannya, kepada tanah leluhurnya.
Inilah Sumba dengan sebutan Pulau Arwah atau bumi Marapu.
Dimana sebagian besar daratannya merupakan padang savana. Jika musim kemarau
tiba padang rumput tadinya menghijau
berubah warna,menguning kering. Bahkan bukit-bukit menghitam akibat dibakar
tangan-tangan iseng,telanjang seperti raksasa yang tertidur pulas.
“Kami akan buktikan, pada keluarga dan khalayak bahwa kami
bukan pemalas.” Seru Mariana Hanna Mb,
seorang ibu rumah tangga, petani di Makamenggit. Sedang memikul air untuk
menyiram tanamannya.sebagian lagi ibu-ibu sengaja mengankut air dari sungai
pakai ember yang ditaruh di kepalanya.
“Sebetulnya selama ini tidak ada yang membimbing kami,
bagaimana mengolah tanah dengan baik, memelihara ternak yang menguntungkan,Kami
seolah berjuang sendirian.” Ujar Makahar Djawaraey, masih petani dari Desa
Makamenggit.
Para petani diatas bercerita, selama ini belum pernah ada
yang memberdayakan mereka,sebenarnya tanah-tanah mereka subur, meski dilanda
kemarau panjang tanah para petani tersebut
berdekatan dengan sungai. Namun baru kali ini dimanfaatkan.
“apa yang harus dilakukan, karena tidak ada yang memberitahu
caranya..? tambah Makahar lagi setengah
bertanya.
“Tahun lalu tanam sayurpun disekitar sungai ini hanya cukup
untuk keluarga, kalau lebih ya dijual, tapi sekarang semua petani berlomba,
mengngingat sudah ada yang membimbing, ini awal yang bagus.” Cerita Martin Djami, anggota SLPO Makamenggit."kami baru tahu ternyata banyak yang bermanfaat, yang bisa diolah tak perlu semuanya harus beli, asal mau berubah." ujar Martin lagi
Tampak tanaman sayur disekitar bantaran sungai Makamenggit menghijau,
kesibukan petani beragam ada yang sedang
menyiram. Mengikat tomat, memberikan kompos dasar. Dan sedang panen.
“Besok hari pasar , tiap hari kamis di dekat kantor
Kecamatan Nggaha Ori Angu, jadi sayuran ini disiapkan biar pagi langsung
berangkat.” Kata Nathalia, sedang memilah
milah jenis sayuran organik hasil panen dari teman-temannya sesama anggota SLPO
Makamenggit, untuk dibawa ke pasar .
“Sayuran yang saya bawa langsung laris banyak yang suka,
enak renyah, segarnya tahan , begitu .” Katanya lagi besemangat.
Nathalia dan kawan-kawan
merupakan anggota peserta program Pemberdayaan Pertanian Organik.
Dampingan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia, IPPHTI. Desa
Makamenggit kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur, NTT.
Paktor alam, iklim dan tanah. Adalah pendukung keberlangsungan dunia pertanian yang akan menghasilkan kebutuhan pangan bagi
bangsa ini. Tapi jika Sumber Daya Petaninya tidak diperhatikan, ketersediaan
pangan akan tergaggu.
Alam janganlah dijadikan kambing hitam. Apalagi bisa nya
hanya mengeleuarkan stigma-stigma negatif, pada daerahnya sendiri, hanya mampu memvonis. mereka “pemalas” tanpa bisa memberikan
jalan keluarnya. Itu tidak bijak.
Bisa memvonis harus bisa memberi solusi. Itu baru bijak
“Bangulah jiwanya….
“Bangunlah Badannya….
“Untuk Indonesia Raya……
(Radita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar