“Berilah aku kekuatan
Ya Alloh, lindungi perjalananku, semoga mereka para petani di Sumba Timur memahami
apa yang aku sampaikan.” Itulah kata awal yang keluar dari lubuk hatiku, sewaktu hendak berangkat
menuju pulau Sumba.
Tanggal 11- januari
2012 sampai di pulau sumba, sebuah
daerah yang asing, tak tersirat
sedikitpun menginjakan kaki di pulau ini. Nampak dari jendela pesawat yang
kutumpangi padang rumput hijau
menghampar, dihiasi oleh bukit-bukit
bagai gulungan raksasa yang dibatasi lembah. Terlihat pula ternak bergerombol berpencaran bak sebuah titik yang bergerak – gerak.”inikah namanya
Sumba sebagai daerah lumbung ternak.?” Hatiku berbisik…
Ah.. kini jadi
teringat sewaktu SMA dulu mengikuti
lomba baca puisi di Kota Bandung. Naskah yang kubacakan judulnya “Beri Daku
Sumba” karya Taufik Ismail. Tropi berikut naskahnya masih kusimpan rapih. Sejak
dulu mencari-cari dimanakah “Sumba” posisinya?. Yang ada hanya nama Sumbawa,
aku sangat kecewa waktu itu. Mungkinkah Taufik lupa menyertakan kata “Wa”nya
sehingga jadi Sumba?.
Keingin tahuan
tentang Sumba sangat besar ketika itu ,sebab dalam naskah diceritakan ada
kegagahan dengan kuda pacunya dan kengerian kondisi alamnya, benarkah begitu…?
Tak lama pesawat yang
kutumpangi mendarat. “Alhamdulillah selamat
sampai tujuan.” Gumamku.“ Bandara
Umbu Mehang Kunda, Waingapu.” Itu nama bandara pertama kali kuinjak di pulau sumba ini.
Sebuah bandara kecil , ini megingatkanku pada bandara Timika di daerah Papua.
Orang-orang berkerumun di luar pagar bandara mungkin hendak menjemput
keluarganya, atau sekedar mengantar. Biasanya begitu.
Yang membuatku kaget
dan tidak habis pikir orang –orang dewasa laki-laki maupun
perempuan sibuk mengobrol sambil makan sirih pinang. Oooh ini persis dengan
orang-orang Papua. Pikirku.
Semua penumpang sibuk
berebut mencari bagasi barang bawaannya. Karena di Bandara Umbu Mehang masih sistim manual, tidak seperti di bandara
besar . Masih beruntung ada penerbangan
kesini, meski serba sederhana pelayanannya. Lagi-lagi benakku berbisik
mengucap syukur.
“Selamat jumpa wahai Sumba, tunggu aku akan jadi pejantantangguh
untukmu .” Tak sadar Lidahku berucap ,kala
menginjakan kaki di halaman hotel. Inilah Waingapu sebuah Ibukota kabupaten Sumba Timur. Jalanan sunyi
, lalu-lintas lancar. Tidak seperti di kota –kota besar di pulau Jawa yang selalu macet, sumpek dan penuh polusi udara
.” semoga aku nyaman tinggal disini selama mendampingi para petani Sumba timur
.” harapku, sambil memandang jauh ke jalan, dari lantai dua kamarku menginap.
Tak terasa langit menghitam. Menuju malam . gelap. Aku masuk
kamar merebahkan badan ,persiapan untuk
besok. Tapi mata ini susah terpejam. Terkadang aku sudah tidak sabar ingin
segera besok pagi bertemu dengan masyarakat petani yang akan menjadi dampinganku, namun
terkadang pula mengira-ngira seperti
apakah karakternya para petani di sini. Bagaimanakah iklim dan tekstur
tanahnya, apakah sama dengan di tempatku? Apakah sama seperti daerah –daerah
yang pernah ku dampingi selama ini..? atau ah… semakin malam , pikiranku
semakin menerawang jauh. Dan mataku mulai tak tahan. Akupun tertidur dengan
lelapnya.
Esoknya kami berangkat menuju lokasi, Pak Kustiwa dan Feri dari IPPHTI(Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) serta Pak Leonardo dari DKH,
berikut Pak Iskandar Saher dari lembaga P 3 H Sumba. kami satu kendaraan bersama
menuju satu tempat Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu.
Berkat orang-orang
itulah hingga aku sampai di tanah Sumba. Kami ngobrol sepanjang perjalanan
seputar situasi dan perkembangan Sumba. Dari isi obrolan ternyata Pak Iskandar
saher sudah hapal betul Daerah ini,katanya hampir delapan tahun bolak-balik ke Sumba. Beliau aslinya orang Dayak
Kalimantan yang menetap di Kota Salatiga. Pak Leonardo orang Menado dari lembaga DKH,
Tiba di Desa Makamenggit, Nampak masyarakat sudah
berkumpul. Inikah petani yang akan
kudampingi? Kenapa banyak sekali? Terus kenapa anak-anak ikut berkumpul?
“ hari ini seluruh
penduduk Desa Makamenggit dikumpulkan, karena ada pembagian beras bantuan dari
pemerintah Belanda, akibat bencana rawan pangan
yang menimpa mereka.” Pak Iskandar menjelaskan “ masih ada Desa-desa
lain yang kami bantu.” tambahnya
“nanti sekalian akang
dikenalkan sama masyarakat sini, biar betah dan banyak saudara, yuk kita
masuk.” Ajak Pak iskandar
Kami hanya mengikuti
dari belakang, Pak is ngajak berkumpul pada sebuah gereja tua, suasana dalam gereja hiruk pikuk , penuh
sesak oleh penduduk desa. Ya sebuah
bangunan tua. Nampak seperti sudah tak
terawat, pintu dan jendela sudah pada copot, dinding-dinding yang terbuat dari
papan kayu sudah bolong, terlepas . mungkin dimakan oleh waktu.
Di luar hujan mulai
turun, namun tak mengurangi masyarakat untuk membongkar beras dari truk yang
mengangkut, mereka semangat karena pulang akan membawa beras .
Begitu masuk disuguhi
sirih pinang, tentu saja aku aneh sebab yang namanya sirih itu yang dikunyah
daunnya, di sumba sangat berbeda sirih ada
buahnya, mungkin varitasnya lain. pikirku
Aku pun mencobanya
namun lidahku terasa terbakar, pantas saja katanya kapur belakangan, setelah
sirih dan pinang, ah aku jadi malu.
Sebelum acara
pembagian beras kami dikenalkan oleh ketua umum
sinode Gereja Kristen Sumba,GKS. Namanya bapak pendeta Naftali Djoru.
Satu persatu kami berdiri.
“ Bapak-bapak dan
ibu-ibu dalam hal mengatasi rawan pangan selain ada pembagian beras , perlu diketahui kita akan mendapat seorang
pendamping untuk bidang pertanian, akan membimbing Petani Makamenggit selama setahun .
Jadi nanti beliau akan hidup bersama diantara kita dan itu saudara kita,
namanya Kang Rahmat.” Katanya “ Sengaja
didatangkan dari jauh, Bandung. Beliau dari Ikatan Petani Pengendalian Hama
Terpadu Indonesia,IPPHTI. ‘ begitu pejelasan pak Naftali Djoru sebagai ketua
umum Sinode GKS pada masyarakat.
Menjelang siang hari
sebanyak 30 orang petani Makamenggit dikumpulkan di Gereja yang baru sebelah
atas gereja tua. Pak Kustiwa dan Pak Leonardo yang membuka pertemuan dengan 30
orang petani itu.Sedangkan aku hanya duduk saja karena belum saatnya beraksi.
Tujuan dikumpul untuk menawarkan kesepakatan tentang kotrak belajar mengenai
rencana “Sekolah Lapang” yang akan di garap selama setahun, serta membongkar
pohon masalah yang menimpa para petani, kenapa sampai kelaparan..?, kenapa
gagal panen..? apa semua ini penyebabnya..? dan semua permasalahan dikeluarkan.
Direfleksi hingga menjadi pohon tujuan serta mampu menghasilkan buah-buah yang
ranum dikemudian hari.
Dari pertemuan tadi
kami semua sepakat membuat Rencana Tindak Lanjut,RTL.Tahap awal “Sekolah
Lapang” belajar tanam padi dengan pola SRI (Sistem Of Rice Intensification).
Berikut segala kebutuhannya yang berhubungan dengan tanaman. Dari mulai belajar
tentang Ekologi Tanah, Seleksi Benih, Persemaian pola SRI, pengolahan Tanah,
cara tanam pola SRI sampai belajar cara pembuatan pupuk organik padat, cair dan
pestisida nabati untuk mengendalikan hama.
Meski tampak polos
dan lugu dari wajah-wajah mereka ada sedikit harapan yang tergambar dari
pancaran bola matanya, sewaktu kami pamit pulang ke Waingapu. Bagaimanapun
nantinya mereka akan belajar pengamatan hama dan penyakit dan perkembangan
tanaman atau analisa agroekosistem. Kemudian hasil pengamatan dari lahan
belajar itu mereka sampaikan sendiri di dalam ruangan kelas berupa presentasi
pada teman-temannya. Apa yang ditemukan dan bagaimana mengatasinya. Hujan masih
tetap saja turun deras, seolah ingin mengantar kami hingga waingapu.
Sekarang aku tinggal
sendirian, sebab Pak Kustiwa, Feri, Pak Leonardo dan Pak Iskandar Saher sudah
pada pulang ke Jawa.” Aku harus jadi pejantan tangguh secara keilmuan untuk
Sumba,harus menyibakaan kabut yang menyelimuti supaya mereka tidak kena bencana lapar lagi, supaya petani bisa maju, supaya
petani bisa sejahtera, bisa sejajar dengan daerah lain. Beri Daku Sumbaaaaa……!!!!!!!!!!!" teriakku dalam hati (Radita)
salute!!! \(^^,)/
BalasHapus