Rinduku pada Sumba
Adalah rindu padang-padang
terbuka
Di mana matahari membusur
api di atas sana
Rinduku pada sumba adalah
rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga
tanpa dihitung harga
Ini adalah kutipan dari sajak “ Beri Daku Sumba”
karangan Taufik Ismail. Nama Sumba waktu
itu hanyalah dalam pertautan batinku
saja,tidak tahu tempatnya dimana. sering diucapkan kala naik pentas.
Namun kini aku berada dalam pangkuannya, sekarang kusebut, kupijak dan
kubawa terbang pada teman-teman ku nun
jauh di sana.
Memasuki minggu pertama di pulau yang mampu
mengelorakan untuk berbagi dengan orang-orang
Sumba, jika aku gambarkan seperti seorang pasen yang mendapat inpusan
darah segar yang maha dahsyat. Masih segar dalam ingatan ketika mengenalkan seleksi
benih padi pola SRI pada para petani
peserta program pertanian organik.
Mereka seolah
tak percaya apa yang aku contohkan dalam praktek, Aku
sampaikan bahwa sebelum masuk persemaian calon bibit harus diseleksi terlebih
dahulu supaya hasil sesuai dengan yang diharapkan.Bibit apapun supaya nanti keturunannya bagus.
“
Bagaimana kalau benih padi yang berlabel?” tanya seorang petani
“Sama
harus diseleksi dulu.” Jelasku “ jangan
percaya pada label, karena label bisa
dipalsukan.” Tambah ku lagi meyakinkan petani peserta .
Ahirnya
kami menyiapkan bahan bahan untuk seleksi benih ,sepeti garam, telur , toples plastik
dan benih padi yang akan disemai. Dalam
proses semua mengikuti dangan antusias. Padi, pertama direndam dalam air biasa
yang mengapung dibuang, kemudian yang tenggelam dipindah lagi ke toples
pelastik yang sudah di cek dengan garam
dan telur, jika telurnya mengapung, berarti berat jenisnya sudah normal, lalu
benih padi toples npertama itu dimasukan. Ternyata masih banyak yang mengapung.
Dari praktek inilah ahirnya para petani bisa mengambil kesimpulan, mampu
membedakan seleksi benih yang biasa mereka
lakukan secara turun temurun dengan pola SRI.
Namun
ada saja petani yang merasa penasaran , apakah cukup benih padi satu gelas
untuk lahan tanam 5 are sebagai lahan
belajar mereka? Aku belum menjawabnya , kujanjikan nanti ketika saatnya tanam.
‘Saya
yakin kebutuhan anakan padi tidak akan mencukupi.” Lagi-lagi ada yang nyeletuk
Para
petani menyiapkan lahan semai dengan luas 120 cm X 50 cm, lagi-lagi mereka bertanya. Kenapa
tidak disawah langsung? Kenapa di darat? .pikiran mereka berkecamuk, ini pola
semai padi yang aneh mungkin . Meski begitu
petani peserta sambil melakukannya. Posisi semai padi memang di darat,dilapisi
karung pelastik baru dilapisi daun pisang kemudian pupuk yang sudah dicampur
dengan tanah tebalnya sekita 7 cm saja, terus bibit padi ditaburkan ditutup
tipis oleh tanah.disiram pagi sore, agar tumbuhnya merata.
Inilah
awal kegiatan dengan para petani Sumba Timur, bisa dipahami, jika mereka merasa
aneh meleihat selama ini yang belum pernah dilakukanya. Ada yang percaya ,
pasti banyak yang menysngsikannya.
“
sepuluh hari dari sekarang ini persemaian sudah siap tanam. ” kataku pada
Mereka
“
Haaah..? hampir semuanya ternganga dengar ucapanku
“
Kami di sini biasa satu bulan Kang , paling cepat 3 minggu baru bisa dipindah ”
Kata petani yang bernama Markus Dendungara, setengah teriak.
Ahirnya
aku jelaskan mengapa pola SRI seperti
itu,bahwa dengan pola ini banyak sekali keuntungannya. Tanam bibit muda, karena anakan padi masih punya cadangan makanan, bulir padinya masih menempel dan cepat beradaftasi di lahan, sebab akar tidak
terganggu.
Berbeda
sekali dengan pola biasa, bibit padi dicabut, dibanting lalu diikat kemudian
dilempar ke tengah sawah dari pematang, bagaimana kalau anak manusia diperlakukan
seperti itu ? kataku. Jadi bibit tersebut akan menyembuhkan dirinya dulu baru
bisa beradaftasi dengan tanah. Sambil aku memperagakan seperti menjinjing bayi
yang baru lahir lalu dibantingkan. Para petani pun semua tertawa ngakak,
melihat aksiku.Atau bisa juga memakai wadah pelastik bekas kue, lapisi daun pisang, pupuk lalu benih di taburkan. supaya memudahkan membawanya ke tengah sawah.
"Pola SRI hanya butuh bibit padi 8 kilo gram per hektar. "
"Apa cukup kang..? teriak Markus " Kami biasa di sini 40 sampai 50 kg per hektar." serunya lagi. aku hanya diam saja, kasihan petani seperti berjuang sendiri menentukan nasibnya. Apakah petugas lapangan pertanian di sini tidak tahu? atau tidak mau memberi tahu? atau benar-benar tidak tahu...?
Mentari
mulai redup, angin bertiup sepoy-sepoy . Tak terasa sudah menjelang malam. Aku
pamit pulang pada mereka. Jabat tangan mereka terasa hangat dan kuat. Sorot
matanya seolah berbisik.” Jangan pulang dahulu kami masih betah”
"besok kembali lagi." janjiku dalam hati.
Ah
aku tak boleh terbawa perasaan, yang jelas hari ini sangat senang dan menikmatinya bisa berbagi
dengan mereka .
Ini
langkah awal, ini kegiatan awal… Wahai Pembina Kehidupanku…Semoga Engkau
membimbingku Ya Alloh….
Beri
Daku Sumbaaaaa….!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar