Selasa, 16 Oktober 2012

Berbagi Di Bumi Marapu (bag. 1)





“Berilah aku kekuatan Ya Alloh, lindungi perjalananku, semoga mereka para petani di Sumba Timur memahami apa yang aku sampaikan.” Itulah kata awal yang keluar  dari lubuk hatiku, sewaktu hendak berangkat menuju pulau Sumba.
Tanggal 11- januari 2012  sampai di pulau sumba, sebuah daerah yang asing,  tak tersirat sedikitpun menginjakan kaki di pulau ini. Nampak dari jendela pesawat yang kutumpangi padang rumput  hijau menghampar, dihiasi oleh  bukit-bukit bagai gulungan raksasa yang dibatasi lembah. Terlihat pula  ternak bergerombol berpencaran bak  sebuah titik yang bergerak – gerak.”inikah namanya Sumba sebagai daerah lumbung ternak.?” Hatiku berbisik…
Ah.. kini jadi teringat sewaktu SMA dulu  mengikuti lomba baca puisi di Kota Bandung. Naskah yang kubacakan judulnya “Beri Daku Sumba” karya Taufik Ismail. Tropi berikut naskahnya masih kusimpan rapih. Sejak dulu mencari-cari dimanakah “Sumba” posisinya?. Yang ada hanya nama Sumbawa, aku sangat kecewa waktu itu. Mungkinkah Taufik lupa menyertakan kata “Wa”nya sehingga jadi Sumba?.
Keingin tahuan tentang Sumba sangat besar ketika itu ,sebab dalam naskah diceritakan ada kegagahan dengan kuda pacunya dan kengerian kondisi alamnya, benarkah begitu…?
Tak lama pesawat yang kutumpangi mendarat. “Alhamdulillah selamat  sampai  tujuan.” Gumamku.“ Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu.” Itu nama bandara  pertama kali kuinjak di pulau sumba ini. Sebuah bandara kecil , ini megingatkanku pada bandara Timika di daerah Papua. Orang-orang berkerumun di luar pagar bandara mungkin hendak menjemput keluarganya, atau sekedar mengantar. Biasanya begitu.
Yang membuatku kaget dan  tidak  habis pikir orang –orang dewasa laki-laki maupun perempuan sibuk mengobrol sambil makan sirih pinang. Oooh ini persis dengan orang-orang Papua. Pikirku.
Semua penumpang sibuk berebut mencari bagasi barang bawaannya. Karena di Bandara Umbu Mehang  masih sistim manual, tidak seperti di bandara besar . Masih beruntung  ada penerbangan kesini, meski serba sederhana   pelayanannya. Lagi-lagi benakku berbisik mengucap syukur.

“Selamat jumpa wahai  Sumba, tunggu aku akan jadi pejantantangguh untukmu .” Tak sadar Lidahku berucap ,kala  menginjakan kaki di halaman hotel. Inilah  Waingapu sebuah  Ibukota kabupaten Sumba Timur. Jalanan sunyi , lalu-lintas lancar. Tidak seperti di kota –kota besar di pulau Jawa yang  selalu macet, sumpek dan penuh polusi udara .” semoga aku nyaman tinggal disini selama mendampingi para petani Sumba timur .” harapku, sambil memandang jauh ke jalan, dari lantai dua kamarku menginap.

Tak terasa langit  menghitam. Menuju malam . gelap. Aku masuk kamar  merebahkan badan ,persiapan untuk besok. Tapi mata ini susah terpejam. Terkadang aku sudah tidak sabar ingin segera besok pagi bertemu dengan masyarakat petani  yang akan menjadi dampinganku, namun terkadang pula mengira-ngira  seperti apakah karakternya para petani di sini. Bagaimanakah iklim dan tekstur tanahnya, apakah sama dengan di tempatku? Apakah sama seperti daerah –daerah yang pernah ku dampingi selama ini..? atau ah… semakin malam , pikiranku semakin menerawang jauh. Dan mataku mulai tak tahan. Akupun tertidur dengan lelapnya.




Esoknya kami  berangkat menuju lokasi, Pak Kustiwa dan Feri  dari IPPHTI(Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia) serta Pak Leonardo dari DKH, berikut Pak Iskandar Saher dari lembaga P 3 H Sumba. kami satu kendaraan bersama menuju satu tempat Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu.
Berkat orang-orang itulah hingga aku sampai di tanah Sumba. Kami ngobrol sepanjang perjalanan seputar situasi dan perkembangan Sumba. Dari isi obrolan ternyata Pak Iskandar saher sudah hapal betul Daerah ini,katanya hampir  delapan tahun bolak-balik  ke Sumba. Beliau aslinya orang Dayak Kalimantan yang menetap di Kota Salatiga.  Pak Leonardo orang Menado dari lembaga DKH,
Tiba di  Desa Makamenggit, Nampak masyarakat sudah berkumpul. Inikah petani   yang akan kudampingi? Kenapa banyak sekali? Terus kenapa anak-anak ikut berkumpul?
“ hari ini seluruh penduduk Desa Makamenggit dikumpulkan, karena ada pembagian beras bantuan dari pemerintah Belanda, akibat bencana rawan pangan  yang menimpa mereka.” Pak Iskandar menjelaskan “ masih ada Desa-desa lain yang kami bantu.” tambahnya
“nanti sekalian akang dikenalkan sama masyarakat sini, biar betah dan banyak saudara, yuk kita masuk.” Ajak Pak iskandar
Kami hanya mengikuti dari belakang, Pak is ngajak berkumpul pada sebuah gereja tua,  suasana dalam gereja hiruk pikuk , penuh sesak oleh penduduk desa.  Ya sebuah bangunan tua. Nampak seperti sudah  tak terawat, pintu dan jendela sudah pada copot, dinding-dinding yang terbuat dari papan kayu sudah bolong, terlepas . mungkin dimakan oleh waktu.
Di luar hujan mulai turun, namun tak mengurangi masyarakat untuk membongkar beras dari truk yang mengangkut, mereka semangat karena pulang akan membawa beras .
Begitu masuk disuguhi sirih pinang, tentu saja aku aneh sebab yang namanya sirih itu yang dikunyah daunnya, di sumba sangat berbeda sirih ada  buahnya, mungkin varitasnya lain. pikirku
Aku pun mencobanya namun lidahku terasa terbakar, pantas saja katanya kapur belakangan, setelah sirih dan pinang, ah aku jadi malu.
Sebelum acara pembagian beras kami dikenalkan oleh ketua umum  sinode Gereja Kristen Sumba,GKS. Namanya bapak pendeta Naftali Djoru. Satu persatu kami berdiri.
“ Bapak-bapak dan ibu-ibu dalam hal mengatasi rawan pangan selain ada pembagian beras ,  perlu diketahui kita akan mendapat seorang pendamping untuk bidang pertanian, akan  membimbing Petani Makamenggit selama setahun . Jadi nanti beliau akan hidup bersama diantara kita dan itu saudara kita, namanya Kang Rahmat.” Katanya “  Sengaja didatangkan dari jauh, Bandung. Beliau dari Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia,IPPHTI. ‘ begitu pejelasan pak Naftali Djoru sebagai ketua umum Sinode GKS pada masyarakat.
Menjelang siang hari sebanyak 30 orang petani Makamenggit dikumpulkan di Gereja yang baru sebelah atas gereja tua. Pak Kustiwa dan Pak Leonardo yang membuka pertemuan dengan 30 orang petani itu.Sedangkan aku hanya duduk saja karena belum saatnya beraksi. Tujuan dikumpul untuk menawarkan kesepakatan tentang kotrak belajar mengenai rencana “Sekolah Lapang” yang akan di garap selama setahun, serta membongkar pohon masalah yang menimpa para petani, kenapa sampai kelaparan..?, kenapa gagal panen..? apa semua ini penyebabnya..? dan semua permasalahan dikeluarkan. Direfleksi hingga menjadi pohon tujuan serta mampu menghasilkan buah-buah yang ranum dikemudian hari.
Dari pertemuan tadi kami semua sepakat membuat Rencana Tindak Lanjut,RTL.Tahap awal “Sekolah Lapang” belajar tanam padi dengan pola SRI (Sistem Of Rice Intensification). Berikut segala kebutuhannya yang berhubungan dengan tanaman. Dari mulai belajar tentang Ekologi Tanah, Seleksi Benih, Persemaian pola SRI, pengolahan Tanah, cara tanam pola SRI sampai belajar cara pembuatan pupuk organik padat, cair dan pestisida nabati untuk mengendalikan hama.
Meski tampak polos dan lugu dari wajah-wajah mereka ada sedikit harapan yang tergambar dari pancaran bola matanya, sewaktu kami pamit pulang ke Waingapu. Bagaimanapun nantinya mereka akan belajar pengamatan hama dan penyakit dan perkembangan tanaman atau analisa agroekosistem. Kemudian hasil pengamatan dari lahan belajar itu mereka sampaikan sendiri di dalam ruangan kelas berupa presentasi pada teman-temannya. Apa yang ditemukan dan bagaimana mengatasinya. Hujan masih tetap saja turun deras, seolah ingin mengantar kami hingga waingapu.
Sekarang aku tinggal sendirian, sebab Pak Kustiwa, Feri, Pak Leonardo dan Pak Iskandar Saher sudah pada pulang ke Jawa.” Aku harus jadi pejantan tangguh secara keilmuan untuk Sumba,harus menyibakaan kabut yang menyelimuti  supaya mereka tidak kena bencana  lapar lagi, supaya petani bisa maju, supaya petani bisa sejahtera, bisa sejajar dengan daerah lain. Beri Daku Sumbaaaaa……!!!!!!!!!!!" teriakku dalam hati (Radita)












1 komentar: