Rabu, 28 Desember 2016
Jumat, 16 Desember 2016
Selasa, 13 Desember 2016
Senin, 12 Desember 2016
Rabu, 07 Desember 2016
Minggu, 04 Desember 2016
Jumat, 02 Desember 2016
Kamis, 01 Desember 2016
Senin, 28 November 2016
Minggu, 20 November 2016
Jumat, 18 November 2016
Minggu, 13 November 2016
Jumat, 11 November 2016
Senin, 07 November 2016
Jumat, 28 Oktober 2016
Kamis, 27 Oktober 2016
Rabu, 28 September 2016
Rabu, 31 Agustus 2016
Minggu, 28 Agustus 2016
Selasa, 23 Agustus 2016
Senin, 22 Agustus 2016
Rabu, 17 Agustus 2016
Selasa, 16 Agustus 2016
Sabtu, 13 Agustus 2016
Senin, 25 Juli 2016
Kamis, 30 Juni 2016
Selasa, 28 Juni 2016
Jumat, 24 Juni 2016
Rabu, 22 Juni 2016
Sabtu, 18 Juni 2016
Kamis, 16 Juni 2016
Rabu, 15 Juni 2016
Selasa, 14 Juni 2016
Minggu, 12 Juni 2016
Jumat, 27 Mei 2016
Selasa, 24 Mei 2016
Catatan Film Dokumenter : "Kita,Alam Dan Masa Depan"
Gambar diambil dari laptop |
“Apa Mimpi
bapak ke depan..?”
“Mimpi saya
bagaimana caranya supaya petani itu cerdas,sebab ketahanan pangan itu dasarnya
ketahanan pengetahuan petaninya dulu yang digarap. Jangan bicara produksi atau
swasembada pangan sebelum petaninya dimuliakan,sebelum petaninya dicerdaskan
terlebih dahulu.Swasembada merupakan otomatisasi dari tingkat kecerdasan atau
SDM petaninya”
“Kemudian
Pak...?”
“Semoga Sumba
menjadi sebuah Pulau yang organik,sebab tanah ,air dan udaranya masih alami.”
Itulah bagian
dari dialog dalam Film Dokumenter “Kita,Alam Dan Masa Depan” yang diproduksi
oleh BaKTI dalam Program Pengelolanan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat
(PSDABM) ,Proyek Kemakmuran Hijau dari MCAI.
Film
Dokumenter dengan durasi waktu 17,11 detik.
Pertama kali diputar di Sumba Timur pada Hari Senin tanggal ,23 Mei
2016,bertempat di Kampus Universitas kriswina Sumba(UNWINA). Menghadirkan Kelompok Wanita Tani,Dinas Pertanian
,BP4K,DPRD Sumba Timur , beberapa LSM serta jurnalis.Menurut manajer BaKTI
area Sumba ,Wenda Radjah,Film Dokumenter ini akan terus bersafari atau
road show ke tiap kabupaten di Pulau Sumba.
“BaKTI
tugasnya mengkampanyekan hasil- hasil karya nyata yang ada di masayarakat ,baik
itu berupa majalah,kartun dan Film Dokumenter,dengan nama pengetahuan hijau.”
Ujar Riky sebagai Monev BaKTI saat membuka pemutaran perdana Film Dokumenter
tersebut di Kampus UNWINA ,Waingapu Sumba Timur.
Dalam Film
tersebut,Bagaimana Masyarakat Desa Aik Bual,Lombok ,NTB menjaga sungai sebagai aliran urat nadi
kehidupan,dengan menjaga dan membersihkannya dari sampah –sampah yang
mengotorinya. “Jika di atas bersih maka di bawahpun harus bersih.” Begitu ucap
Safarudin ,sebagai penggerak kebersihan sungai,dari Desa Aik Bual Lombok NTB.
Dari Narmada
Kabupaten Lombok Barat,seorang ibu Hj.Ummi Ningsih bagaimana memanfaatkan
sampah organik dan an organik hingga meningkatkan ekonomi rumah tangga bersama
anggota ibu-ibu PKK di Desanya.
“Sampah
organik kita beli dari mayarakat,kemudian dijadikan pakan ternak.kalau sampah
an organik atau plastik kita daur ulang agar lebih berguna.” Ujarnya
menjelaskan
Di
Pulau Sumba
Liputan di Mauliru Sumba Timur |
Liputan Film
Dokumenter di Pulau Sumba hanya di Kabupaten Sumba Timur,NTT. Dalam Film ,
menggambarkan bagaimana cara tanam padi dengan sistim maju tidak mundur lagi “
Jika petani mau maju maka tanampun harus maju.” Begitu cuplikan dalam dialog Rahmat
Adinata,dari Gerakan Petani Nusantara dengan Kadek Baruna ,di sawah Mauliru ,Waingapu Sumba Timur.
Dari Lewa,
Ibu Marthina Taraamah sebagai pengguna biogas menjelaskan,begitu besarnya
manfaat memiliki biogas hingga limbahnya bisa digunakan sebgai pupuk organik. “Limbah
biogas BIO SLURRY setelah dipermentasi mampu memperbaiki struktur tanah,menjaga
unsur hara untuk keuburan tanah hingga prodktifitas pertanian meningkat.”
Ujarnya
“Acara Ayo
Bertani Organik” di radio Max 96,9 Fm
masuk dalam tayangan dokumenter tersebut,sebab bagaimanapun petani memiliki hak yang sama dalam
mendapatkan informasi.
Terima kasih
Yayasan BaKTI Makasar,semoga tontonan Film ini akan menjadi inspirasi dan
tuntunan bagi siapapun yang menyaksikannya. (Radita,25/5/16)
Rahmat Adinata,Waingapu 25/5/16
Gerakan Petani Nusantara.
Senin, 23 Mei 2016
Kamis, 19 Mei 2016
Minggu, 08 Mei 2016
Menghargai Yang Tidak Berharga
Petani sedang melakukan pengisian pupuk ke bekong dari daun pisang |
Koker atau
polibag secara umum masyarakat mengenalnya dari pelastik untuk persemaian
tanaman.Namun yang dipraktekan oleh para petani organik di Kelompok Matawai
Amah.Mereka memanfaaatkan bekong atau koker untuk tanaman persemaiannya dari
daun pisang.
“Ini baru
pertama kali bagi kami,ternyata sangat mudah pembuatannya serta bahan pun mudah
didapatkan.Selama ini daun pisang dibiarkan begitu saja.” Ujar Paulus Warandoy,Ketua kelompok Matawai
Amah,Desa Yubuway,Kecamatan Kahaungueti,Kabupaten Sumba Timur.
Susunan bekong dari daun pisang |
Cara seperti
ini bukanlah yang pertama di Yubuway,Sumba Timur.Awal mula pembuatan bekong
dari daun pisang dikenalkan oleh Rahmat Adinata,bersama IPPHTI pada Sekolah
Lapang pertanian Organik ,SLPO Makamenggit,Desa makamenggit,Kecamatan
NGGOA.Tahun 2012.
Persemaian Paria dalam bekong siap tanam |
Dengan
menggunakan daun pisang selain praktis baik pembuatan maupun mendapatkan bahan
yang sudah tersedia di alam sekitar,petanipun belajar menghargai lingkungan
yang ada.Kelebihan daun pisang akan busuk dengan sendirinya berbeda dengan
bahan koker plastik.
Sejarah
awalnya dengan sistim bekong ini biasa diterapkan di daerah dataran tinggi
penghasil hortikltura,seperti Pangalengan,Lembang Jawa Barat. Kini diterapkan
di Pulau Sumba.Jenis sayuran yang sering pakai bekong biasanya tanaman
hortikultura seperti :Kol,Tomat,Cabai,Kembang Kol,semangka,Melon,Paria hingga
persemaian bawang merah dari biji.Hal ini bertujuan agar kondisi akar tidak
terganggu saat melakukan penanaman.
Ibu Ernesta Leha (ETA) di Persemaian hortikultura Kelompok Matawai Amah,Yubuway |
Banyak cara menyimpan tempat biji semai untuk Tanaman sayuran,buah-buahan
dan sejenisnya.Ada dengan cara Brownies,Pocis,Bekong.Dengan cara Brownies tanah
yang telah dicampur pupuk dicetak pakai alat khusus,agar membentuk kubus,Baru
biji tanaman sayuran diletakan di atasnya.Sedangkan dengan cara bekong kita
harus membuat terlebih dahulu lingkaran –lingkaran daun pisang dengan lebar 3
cm tinggi 3 cm,ditindik pakai lidi kering yang berfungsi sebagai pengunci daun.Biji
semai sayuran kemudian ditutup dengan serbuk gergaji agar terasa ringan saat
pertumbuhannya.
Dari cara-cara di atas agar persemaian tanaman tidak
terganggu akarnya saat dipindah ke lahan dalam keadaan aman serta cepat
adaftasi dengan kondisi barunya.
Tanam Kol setelah dipindah dari persemaian |
Untuk
pembuktian tersebut,pada hari sabtu,8-Mei-2016 kelompok Matawai Amah,tanam kol
dan Paria , telah menggunakan bekong dari daun pisang sebagai tempat biji
semainya.Dalam pemindahanyapun tidak terlalu sulit.
“Kondisi
tanaman setelah dipindah tetap kelihatan segar,sebab akarnya masih utuh.” Kata
umbu Johanis,petani Yubuway anggota Kelompok Matawai Amah,Desa Yubuwai
Kondisi
sumba dengan rentang kemarau panjang 8 hingga 9 bulan,alangkah bijak jika para
petaninya dikenalkan pada praktek –praktek pertanian yang ramah lingkungan.Mengahargai
yang tidak berharga hingga memiliki satu nilai,itulah esensi dari pertanian
yang berkelanjutan yang orientasinya pada pertanian ramah lingkungan.
Rahmat
Adinata,Waingapu (9/5/16)
Gerakan
Petani Nusantara (GPN)
Kamis, 05 Mei 2016
Rabu, 04 Mei 2016
Selasa, 03 Mei 2016
Minggu, 01 Mei 2016
Sabtu, 30 April 2016
Jumat, 22 April 2016
Air... Dengan Tenaga Matahari Di Sumba Timur
Wilayah kabupaten sumba Timur,NTT. sangat terkenal dengan kekeringannya sebab masa kemarau dengan rentang waktu yang panjang,8 hingga 9 bulan.Begitupun dengan
Warga Kambo
Umah yang mayoritas petani rumput laut.Untuk mendapatkan air bersih harus bersusah
payah baik musim hujan maupun musim kemarau. Hanya untuk mendapatkan air bersih
harus menempuh jarak sekitar 6 kilo meter.
“Andaikan gali
sumurpun airnya payau tidak layak untuk dikonsumsi.” Kata Agustinus
Marapraing,ketua Proklim Desa Palanggay,Kecamatan Pahungalodu,Sumba Timur.
Menurut
ketua proklim.”Terkadang masyarakat beli air bersih 50 liter seharga 30
ribu,atau lima liter air seharga 10.000,- rupiah.setiap hari Minggu suka ada mobil
tangki jualan air ngantar ke sini.”
Namun
kini,air itu sudah sampai di halaman rumah warga,berkat bantuan program SPARC
kerja sama antara Kenenterian Lingkungan Hidup & Kehutanan,Kementerian Desa
Tertinggal dan UNDP serta KOPPESDA sebagi mitra lokal.
Seejumlah
108 kk yang bisa menikmati air bersih bantuan tersebut.Air dengan teknik sumur
bor , digerakan oleh energi matahari kemudian ditampung di bak,lalu dialirkan
ke kemukiman warga,hingga warga Kambo umah tidak perlu lagi bersusah payah
sepanjang tahun harus mendatangkan air dengan jarak yg cukup jauh.
Lokasi Sumur Borr
.
Recana Tanam Sayur
“Kami sangat
bersyukur dan senang sekali sebab air sudah sampai di tempat melalui bantuan
program SPARC.” Kata seorang ibu yang sedang mencuci pakain..”Rencana Kami mau
tanam sayuran untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga ,kini air bukan
masalah,merdeka sudah kami ini.” Katanya menambahkan kegembiraannya.
Namun bila
ketersediaan air tersebut digunakan untuk budidaya sayuran akan sangat
bermanfaat,sebab akan mampu memenuhi kebutuhan gizi bagi keluarganya.
“Selama ini kebutuhan
sayur hanya berharap beli,namun karena air sudah tersedia berarti pengeluaran
akan berkurang. Ini sangat bermanfaat sekali bagi Kami.” Kata si Ibu dengan
semangat.
Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kehidupan kita,namun seandainya sudah ada penggunaan atau tata kelola airpun harus dijalankan agar tidak terbuang percuma.Utamanya dalam perawatan supaya tetap langgeng masa pemakaiannya.
Ketahuilah banyak potensi yang bisa diberdayakan untuk masyarakat,seperti energi angin,matahari dan energi air untuk kesejahteraan warga.
Apakah ketika tanah kita gersang ..jiwa kitapun harus ikut-ikutan gersang...?
Selamat Hari Bumi,kembalikan harkat dan derjat tanah sebagai rahim bumi kita....!!!
Rahmat Adinata,Waingapu 22/4/16
Ketua Nasional : Gerakan Petani Nusantara.
Sabtu, 16 April 2016
“Semai Biji Bawang Merah Dengan Daun Pisang”
Baru-baru
ini, hari sabtu tanggal 16 April 2016 Kelompok Matawai Amah di Desa
Yubuway,Kecamatan Pandawai,Kabupaten Sumba Timur. Mereka belajar persemaian
bawang merah dari biji dengan tempat biji semai memanfaatkan daun pisang.Ini
merupakan hal baru bagi petani organik di Yubuway.
“Tadinya
daun pisang dibiarkan begitu saja,sekarang ternyata bisa dijadikan sebagai
tempat biji semai.Kami jadi sadar untuk memelihara lingkungan dan tanam pisang terus,sebab sudah paham
kegunaannya. Dengan belajar bertani yang ramah lingkungan jadi meringankan
petani.” Paulus Retang Warandoy,sebagai ketua Kelompok menjelaskan.
.
Semai Biji Bawang
Semai bawang
dari bijipun bagi Petani di Desa Yubuway
merupakan hal baru dalam sejarah
hidupnya,tentu saja sebab teknik ini belum lama di kenalkan pada masyarakat
secara umum.
Awalnya
begitu diberitahu akan tanam bawang dari biji,sepertinya mereka tidak
percaya,sebab selama ini yang mereka
ketahui tanam bawang dari umbinya.Namun setelah diperlihatkan bentuk biji
bawangnya baru mereka percaya.
Sedangkan
dari sisi hasil produksi tidak kalah jauh bahkan bisa lebih baik tanam dengan
biji,hanya tanam dengan biji butuh waktu sebab harus disemaikan terlebih
dahulu.tanam dengan biji kebutuhan biaya benih lebih hemat dibanding dengan
umbi.bayangkan jika satu hektar kebutuhan benih sekitar 1,5 ton (umbi) X Rp. 15.000/kg
. Artinya petani untuk kebutuhan benih saja harus mengeluarkan biaya Rp.22.500.000,-.
Bila petani tanam dengan biji kebutuhan per hektar hanya 3 kg saja,harga setiap
kg biji Rp.3000.000,- atau Rp.9.000.000/ha. Irit khan....?
Marilah kita
memuliakan petani dengan membimbing mereka agar cerdas dalam pertaniannya.tidak
menjadikan petani sebagai obyek,namun harus jadi subyek di lahannya
masing-masing.
Rahmat
Adinata,(Waingapu,17/4/16)
Ketua
Nasional : Gerakan Petani Nusantara (GPN)
Kamis, 14 April 2016
Curhat Di Bukit Mauliru
(Fhoto By: Wenda Radjah) |
Menyusuri bukit Persaudaran di Mauliru sungguh
menguras tenaga,entah berapa kemiringan yang kutempuh.nampak dari atas
perkampungan seperti Kawangu ,kambaniru,Kota Waingapu dan Bandara Umbu Mehang kunda terlihat jelas dari atas bukit.Begitupun
lautan yang berada di sebelah bandara UMK nampak biru.
(Fhoto By : Wenda Radjah) |
Sesekali
terdengar suara ringkik kuda yang bergerombol,sebab tegalan bukit persaudaraan
sering dijadikan untuk melepas ternak peliharaan warga sekitar.padang yang
hijau dengan hiasan pohon Kahi yang berdiri tegar.hembusan angin kencang dari
bawah bukit mengantarkan kesejukan.
Hamparan
sawah bervariasi.seperti carut marutnya warna kehidupan.ada yang sudah menguning
padinya siap panen,ada yang baru hijau dan ada pula yang baru dibajak sawahnya.
“Di sini
tidak ada istilah musim tanam atau musim panen. Setiap tanam tidak merata
sesuai dengan keinginan petaninya.” Jelas seorang bapak yang sedang mengikat
ternak kuda peliharaannya.
“Kami sedang
mengalami gagal panen sebab kebanyakan padi terserang penyakit kuning daun
,serta pertumbuhannya tidak merata.Andaikan panenpun selalu kurang memuaskan
dari tahun ke tahun padahal sudah berusaha keras semampu yang Kami bisa.”
Jelasnya lagi
Padi yang terserang penyakit tungro |
Lalu kami
duduk sekedar bercerita sore itu sambil menikmati pemandangan hamparan sawah sawah petani dari atas
bukit.Menurut si bapak, petani di sini merupakan petani coba-coba. Jika ada
serangan hama dan penyakit,ya sebisanya ditangani. Sebab bimbingan secara langsung sangat sulit
ditemukan.Petani seolah berjuang sendirian. “mungkin para petugas sibuk hingga
lupa pada tugas yang sebenarnya.’ Kata si bapak lagi setengah menyindir.
Jika mereka
mendapat masalah kepada siapa harus mengadu? Beginikah kondisi para petani
kita? Ironis memang ,di sisi lain laporan hasil produksi selalu bagus ,namun
sisi lain kenyataan di lapangan tidak sesuai fakta. Inikah yang dinamakan
negara “Agraris?” dengan target menuju ketahanan pangan?
Hamparan
sawah-sawah petani,perkampungan dengan banyaknya pohon lontar dan kelapa sore
tadi nampak hijau,kini mulai berubah warna,hitam oleh gelapnya malam.
Selamatmalam
bapak,selamat beristirahat.semoga rasa galaumu ada jalan keluarnya besok atau
lusa nanti.biarlah hembusan angin menitifkan pada yang memiliki
kebijakan.biarlah peluh keringatmu kali ini berakhir kecewa,tetaplah
bertahan.Sebab tanpa perjuanganmu bangsa ini mau makan apa?
Sekembalinya
di rumah,karena rasa cape ,lelah dan galau.tubuh mulai direbahkan,namun masih
saja ucapan si bapak sore tadi masih
terngiang hingga mata sulit terpejam .”Petani di sini petani coba coba dan
butuh bimbingan.” Hmmmmm...........
Rahmat Adinata
Waingapu,11/4/16
Ketua nasional : Gerakan Petani Nusantara (GPN)
“Rambu..Jangan Galau....”
“jangan heran setiap bulan Oktober atau Nopember suhu mulai
naik panas menyengat,sebab tadinya padang rumput kini warnanya mulai
menghitam,rerumputan yg menyelimuti bebatuan muali nampak telanjang,langsung
kena sinar matahari.” Rambu mulai bercerita
Hmmm daerah Napu,Sumba Timur memang dikenal dengan kegersangannya,namun
yang mengherankan dan takjub warganya cukup kuat bertahan walau dengan iklim
yang ekstrim begini.lalu bagaimana cara menyiasatinya? Dalam persediaan pangan
mereka seelama kemarau panjang?lagi –lagi rambu tidak bosan berbagi cerita.
“Jika kemarau begini Kami terbiasa mengambil air sekedar
untuk minum jaraknya cukup jauh sekitar 5 km dengan jalan kaki,hanya untuk
mendapatkan satu jerigen lima liter air saja. Lebih parah lagi waktu itu orang
Wunga,jalan kaki 3 km dengan menuruni tebing terjal kedalaman 120 meter lalu kemiringannya
sekitar 90 derajat.mengambilnya pun harus sama sama saat pagi hari,sebab jika
sudah agak siang cuku panas dan menguras tenaga.Tapi sekarang orang wunga
sedikit merdeka ,ada yang membuatkan sumur pada tahun 2012,kedalamannya hanya
26 meter saja.Yang buat dari Radio Max Fm Waingapu.” Cerita Rambu agak panjang.
(Fhoto By : Wenda Radjah) |
“Ini ada air dan makanan khas daerah sumba.”Ujar Rambu
menggoyahkan lamunanku.”Tadi Appu ada antar air dan makanan,ketika Akang
tertidur,sekarang Appu sudah kembali ke rumahnya lagi.”sambung Rambu
Nampak ada makanan khas, namanya manggulu yang terbuat dari
pisang dan kacang tanah yang ditumbuk.Hmmm cukup mengasyikan memang sore
ini.menurut Rambu,pisang di daratan Sumba sangat sulit sekarang ini sebab semua
terserang penyakit darah dan belum ada tindakan apa-apa dari pemerintah
setempat.Keluarganya terbiasa menyimpan benih jagung dengan cara dililitkan ke
pohon kelapa,pohon lontar atau pohon asam.ketika menjelang musim hujan baru
benih itu di turunkan untuk di tanam.lama penyimpanan sekitar 8 hingga 9
bulan,dan itu adalah caranya bertahan dalam menghadapi iklim yang ekstrim
.Andaikan tidak ada beras jagung itu bisa diturunkan,dibuat Uhuwatar (Nasi Jagung)
atau jia mau dibuat younggang.Makanan khas orang Sumba dengancara dibakar
diatas bara api memakai seng kemudian digoyang –goyang.Hingga hasil jagunya
merekah,barulah bisa dikonsumsi sebagai makanan ringan .Namun katanya sekarang
sudah jarang orang melakukannya,padahal itu merupakan warisan budaya nenek
moyang orang Sumba.
“Sekarang bibit lokalpun hampir sulit,sebab tergeser oleh
bibit hibrida. Kalau bibit lokal tahan simpan,sedang bibit jagung hibrida bantuan
pemerintah cepat bubuk tidak tahan simpan.Andaikan bibit lokal hilang atau
punah dengan kondisi kebiasaan iklim di Sumba yang panjang kemaraunya hingga 9
bulan ,bukan tidak mungkin akan terkena bencana kelparan.” Nada bicaranya Rambu agak galau.
Di tingkat lapangan masyarakat petani tidak bisa membedakan antara
lokal dan hibrida,akhirnya bibit lokal
akan punah dengan sendirinya.sebab katanya bibit hibrida lebih bagus hasil
panennya.sementara dari cara perawatannya disamakan dengan bibit jagung
lokal,maka hasilnya pun akan sangat berpengaruh. Kemudian lagi hibrida tidak
bisa ditanam kembali,berbeda dengan bibit lokal yang dimiliki oleh petani sudah
beradaftasi dengan iklim dan tanah sumba.
“Harusnya pemerintah paham akan hal itu,lucunya bantuan
bibit juga tidak sedikit dari pemerintah pusat,seperti Bantuan langsung Benih
Unggul (BLBU)namun tidak sampai ke tangan petani sebab dikorupsi.Dari bantuan
bibit saja banyak pejabat yang ditangkap
akibat menipu petani dengan memanfaatkan jabatannya.”
Ada rasa galau yang mendalam pada jiwanya.Kegusaran yang beralasan tentang nasib petani dan tanah kelahirannya.Kering dan gersang sudah langganan setiap tahun,namun masih saja ada yang memanfaatkan kesempatan untk menipu petani.
Terima kasih Rambu ceritanya.Semoga akan sedikit berubah
nantinya daerahmu.tetaplah bersemangat dan teruslah berusaha serta berdoa pada
Pencipta Alam Semesta......
Ya Alloh Engkaulah Pembimbing dan Pembina
kehidupanku........
Rahmat Adinata,(Waingapu 15/4/16)
Ketua Nasional : Gerakan PetaniNusantara (GPN)
Catatan: Rambu : Panggilan untuk Perempuan (Bahasa Sumba)
Appu : Nenek (Sumba)
Manggulu : makanan khas Sumba yang terbuat dari pisang dan kacang tanah yang ditumbuk.
Appu : Nenek (Sumba)
Manggulu : makanan khas Sumba yang terbuat dari pisang dan kacang tanah yang ditumbuk.
Lumbung Benih Melawan Rawan Pangan
Bibit Bawang Merah lokal Sumba |
Satu generasi,namanya lumbung benih untuk mendorong lumbung pangan mulai terlupakan. Andaikan ada pun hanya sebagaian ,itupun ada di daerah -daerah yang sulit terjangkau oleh informasi kota. Pihak yang memiliki kebijakan di Negara ini rencana menginstruksikan membuat lumbung benih hanyalah retorika belaka. Hanya bagus di berita media saja.Kenyataannya tetap saja petani seperti dibikin obyek.
Banyak daerahpun dulunya terkenal dengan sebutan lumbung pangan,kini hanya tinggal kenangan.Begitupun dengan keberadaan lumbung benih.
![]() |
Bibit lokal tahan simpan dililitkan pada pohon |
“Kita tidak
menolak bantuan bibit hibrida dari pihak manapun,hanya yang lebih dulu kita
tanam adalah bibit lokal saat musim
hujan tiba,sedangkan bibit jagung hibrida juga
tanam hanya alakadarnya , ketika musim hujan mau berakhir.” Ujar kepala
desa Laimbonga ,Kecamatan Kahaungueti kabupaten sumba timur.
“Bibit hibrida tidak kuat disimpan lama,berbeda dengan
bibit lokal yang pertama kita tanam bisa berbulan bulan tahan simpan” tambah
kepala desa lagi
Sudah lama kita tidak
mendengar istilah "Lumbung Benih" apa lagi "Lumbung pangan" di Desa –Desa ,apa
lagi menemukannya .Benih sekarang sudah ada di toko,pangan bisa dibeli dari
negara tetangga alias diimpor.Jika benih sudah tersedia di toko-toko pertanian
otomatis memanjakan petani dan membuat ketergantungan,sebab hanya sekali tanam ,sekali panen,setelah itu benih harus beli kembali.Hanya memperkaya pemodal
besar.
![]() |
Bibit Jagung Lokal dililit di pohon waru ala petani Sumba |
Pangan..? jangan khawatir negara kita sangat kaya untuk
belanja & mensubsidi pangan bagi
rakyatnya sampai saat ini . Terbukti masih ada beras murah(jika malu dikatakan
beras miskin) yang membuat gemuk para pengusaha dan mencekik para petani.semoga
jargon gembar gembor kementan baru baru ini rencana akan serap gabah petani
bukan hanya bagus di media namun ada tindak lanjutnya atau gagasan jangan hanya
jadi teori saja.
Lalu berapa yang layak harga gabah yang bisa mensejahterakan
petani? Datapun simpang siur antara keberpihakan ke pengusaha dan mengorbankan
nasib petani sebagai obyek.
Dahulu kita bangga dengan sebutan sebagai negara
“Agraris” namun kini, sebutan itu seolah nyemplung ke got yang paling
dalam.Kita sudah jadi bangsa yang konsumtif ,padahal sesungguhnya tanah
subur,iklim cocok dan petaninya mau bekerja keras. Lagi lagi dalam
hal ini petani selalu ada dalam titik yg tidak menyenangkan.
Sejatinya Negara harus bertanggung jawab sebab memiliki
andil memupus atau
Penyimpanan bibit bawang merah,digantung di atap rumah (Di Sumba Timur) |
melenyapkan para petani muda sebagai penerus negara agraris ini,sebab kebijakannya tidak berpihak pada petani.sebab bertani sudah tidak menjanjikan lagi sebagai mata pencaharian.Bisa dibayangkan ,jika tidak ada petani bangsa ini mau makan apa?
Lumbung
Benih
Benih /bibit adalah hal yang paling mendasar bagi petani sebab benih merupakan Roh-nya petani.Saat
ini benih dikuasai oleh para kapitalis,dan sangat sedikit petani di desa yang
berpikir untuk membangun lumbung benih.Petani tidak bisa disalahkan,sebab
tergeser oleh keberadaan benih –benih hibrida hasil karya para pemodal besar.
Bantuan –bantuan benih hibrida yang memusnahkan bibit lokal, secara tidak sadar
kita sedang berada pada jalan menuju kerawanan pangan.otomatisasinya
kesetabilan negarapun akan terancam,sebab pangan merupakan kebutuhan yang
paling pokok bagi bangsa ini.
![]() |
Bibit jagung lokal Sumba digantung di pohon asam selama 7-8 bulan |
Lumbung
Benih identik dengan lumbung Pengetahuan
Lumbung benih sebagai persediaan cadangan keberlanjutan
pangan sekaligus sebagai lumbung pengetahuan bagi para petani,sebab dari
keturunan benihlah pengetahuan akan didapat oleh para petani.
Jangan bicara produksi atau swasembada pangan jika
petaninya tidak dimuliakan.alasannya andai para petani cerdas produksi
merupakan hasil otomatisasi dari kecerdasan dan semangat paetani itu
sendiri.Petani harusnya dibekali sumber daya manusianya (SDM)nya.
Pertanyaannya kapan lumbung benih yang dulu pernah jaya akan bisa bangkit kembali..?
Rahmat Adinata,(Waingapu 14/4/16)
Ketua Nasional : Gerakan Petani Nusantara (GPN)
Rabu, 30 Maret 2016
Senin, 28 Maret 2016
TANAM PADI CARA MAJU : Rahmat Adinata
Tanam Padi Pola SRI tidak perlu mengeluarkan biaya cabut bibit Pertama kali Di Sumba |
Cukup dengan pelepah Pisang sangat sederhana bagi petani |
Awal mula dan pertama kali di Nusantara ini tanam padi
pola SRI dengan cara maju dikenalkan di Pulau Sumba,NTT. Tepatnya daerah Lairina ,Desa
Tanarara,Kecamatan Lewa Kabupaten Sumba Timur. Di lokasi kebun model Sumba Lima
Organik,pada bulan juni tahun 2015. Kemudian berlanjut di Desa Palanggay
,Kecamatan Pahunga Lodu, bulan Agustus tahun 2016, dalam program SPARC-UNDP
bersama Koppesda,Sumba,NTT
Selanjutnya tanam padi maju dengan bibit padi hitam
dipraktekan pula di Desa Dasaelu,Makatul kabupaten Sumba Tengah,lahan milik pak
Sofren Marisi. Untuk praktek tanam maju pada padi sawah dengan pola SRI (system Rice of
Intensification) terahir pada program SPARC-UNDP di Desa Rakawatu,Kecamatan
Lewa,Kabupaten Sumba Timur.pada tanggal 8 pebuari-2016.
Awalnya
Masyarakat Menolak
Ketika pertama kali dikenalkan tanam padi cara
maju,awalnya petani bingung sebab selama ini tanam mundur(Tandur) dan hanya di
budidaya padi gaya tanamnya yang mundur.Kebiasaan masyarakat petani di pulau
Sumba tanam padi menggunakan tali sebagai jarak tanam.jarang dan hampir tidak
ada ketika tanam padi sawah menggunakan caplak sebgai jarak tanamnya.
“Kebiasaan tanam mundur sudah sejak lama turun temurun dari nenek moyang,masa harus
tanam maju,terus tidak pakai tali lagi bingung saya kang..” ujar John Tnagguh salah seorang petani di Desa
Dasaelu,Makatul Sumba Tengah.agak sedikit pesimis dengan tanam padi cara maju.
“Apakah nanti tidak terinjak saat melakukan tanam
maju,padahal bibit padi yang kita tanam baru berumur 8 hari baru keluar tiga
atau empat daun kecil.?” Tanya Umbu Tana Homba saat praktek di lahannya daerah
Rakawatu Sumba Timur.
Penyerahan bibit pada Petani |
Jawaban
dari Praktek
![]() |
Praktek Tanam maju di Sumba Tengah |
Rasa penasaran,pesimis,bingung bahkan mungkin jengkel sebab kebiasaan harus
segera diganti dengan kebiasaan baru.Tanam dengan menggunakan caplak sebagai
alat ukur jarak tanam,tidak menggunakan tali lagi adalah sesuatu hal yang berat
bagi mereka. Namun setelah dipraktekan,barulah mereka paham dan mengerti.Sebab
hasil pencaplakan sudah ada jejak untuk jarak tanam.
“Awal mulanya memang ragu namun setelah praktek langsung
ternyata sangat mudah,padahal baru pertama kali melakukan.” Ujar John Tangguh ,Petani
dari Sumba tengah sudah tidak bingung lagi seperti dugaan sebelumnya.
Lain pendapat John Tangguh ,lain pula pendapat mama Dorkas
dari Desa Rakawatu. “ Dengan adanya pencaplakan dan tanam maju ternyata lebih
mudah serta lurus,berbeda saat kita tanam mundur pasti ada yang bengkok .Tidak
ada kesulitan sedikitpun.” Kata mama Dorkas menjelaskan pengalaman yang baru
dijalaninya.
Hanya
Merubah Paradigma
Baik tanam mundur maupun tanam maju sama- sama tanam padi.
Merubah paradigma masyarajat petani bisa dikatakan gampang,namun jangan
menganggap enteng.Tanam maju hanya untuk merubah paradigma petani,jika ingin
maju jadi petani tanampun harus maju,tidak mundur lagi seperti kebiasaan.
Sosok petani merupakan makhluk yang paling berjasa bagi
negara ini,sebab jika tidak ada petani kita mau makan apa..? bisa dibayangkan
andai pangan kita terganggu dengan jumlah populasi penduduk semakin
bertambah,maka kestabilan sosial dan politik akan terganggu. Hargailah jasa
petani dan jangan dijadikan obyek !
“Jangan
bicara produksi dan swasembada pangan,jika petaninya tidak dimuliakan...!!”
Rahmat
Adinata,Pengurus Nasional Gerakan Petani Nusantara( GPN)
(Waingapu,Sumba
Timur,NTT . 28/3/16)
Minggu, 27 Maret 2016
Jumat, 25 Maret 2016
Selasa, 15 Maret 2016
Senin, 22 Februari 2016
Minggu, 21 Februari 2016
Jumat, 19 Februari 2016
Kamis, 18 Februari 2016
Tanam Maju Pola SRI di Sumba,NTT.
Persemaian Padi Usia8 hari siap tanam |
Sumba Timur.Pola SRI atau System Rice of
Intensification merupakan cara tanam padi yang hemat bibit (hanya 8 kg
perhektar),hemat air (tidak digenangi terus menerus),tanpa biaya cabut,tanam
tunggal (hanya satu anakan padi),tanam muda(hanya 8 -10 hari setelah semai
(hss)) hanya menggunakan pupuk dan pestisida organik,dengan potensi hasil
mencapai 8-12 ton perhektar.
Baru baru
ini tanggal 10 –Pebruari 2016 di
kelompok kampung iklim (Proklim )Desa Rakawatu Kecamatan Lewa,Kabupaten Sumba
Timur. Para Petani belajar tanam padi Pola SRI dengan cara maju,bukan mundur
lagi seperti biasanya.Cara tersebut merupakan hal baru yang diperkenalkan oleh
Rahmat Adinata dari Gerakan Petani Nusantara,dalam program SPARC_UNDP yang
bekerja sama dengan KOPPESDA Sumba
Benuh Padi siap tanam pakai pelepah pisang (Tanpa Biaya cabut) |
.
Awalnya para
petani merasa riskan sebab tidak biasanya mereka tanam maju,namun setelah
melakukan praktek dalam sekolah lapang akhirnya mereka menjadi terbiasa.
“Karena ini
merupakan hal baru bagi kami petani di Desa Rakawatu jadi wajar saja jika tidak
lancar seperti yang biasa kami lakukan yaitu tanam mundur,namun dengan cara
tanam maju bagus juga sebab bisa lebih cepat.” Ujar mama Dorkas ,anggota Kemas
Proklim Desa Rakawatu.
Tanam Padi dengan cara maju,di Desa rakawatu, Kecamatan Lewa_Sumba Timur_NTT |
“Biasanya
kami tebar benih sekitar satu kwintal atau 100 kg perhektar,sedangkan dg pola
SRI hanya 8 kg saja,tambah lagi ada pengalaman baru yaitu tanam padi cara maju
ini pengalaman baru bagi kami di sini sebagai petani,semoga para petani makin
sejahtera dengan menambah wawasan baru ini.kami snagat bersyukur.” Umbu Tana Homba
menambahkan pendapatnya,sesama anggota Kemas Proklim Desa Rakawatu,Sumba Timur.
Ya tanam,
baik mundur maupun maju bukan lah hal yang penting,namun yang perlu ditekankan
bagamana memposisikan petani sebagai subyek bukan dijadikan obyek. Terkadang
petani selalu dijadikan kambing hitam saat pangan kurang akibat gagal
panen,hingga membuka peluang untuk menciptakan lahirnya mafia pangan di Negri
ini.
Semoga
dengan adanya sekolah lapang ditingkat petani sumberdaya manusia petaninya akan
semakin maju dalam mewujudkan kedaulatan pangan,agar keberadaan pangan tidak
selalu dikirim dari negara tetangga.
(Rahmat
Adinata/Waingapu_19/2/16)
Jumat, 01 Januari 2016
Langganan:
Postingan (Atom)