Senin, 02 September 2013

Namanya” Sekolah Lapang”



Sekolah Lapang Pertanian Organik ,SLPO Karuni .Di Desa Karuni Kecamatan Loura Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Dengan bimbingan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia,IPPHTI. Sebuah program pemberdayaan petani  dalam hal meningkatkan kemandirian pangan.
Satu bentuk sekolah lapang diikuti beberapa orang petani dan penyuluh permengenaitanian  untuk belajar praktek bersama  pertanian organik. Di lahan belajar yang tidak begitu luas.
Mereka belajar dari mulai seleksi benih sehat, persemaian, pembuatan pupuk organik padat,pupuk organik cair, pestisida nabati, nutrisi ternak, pakan ternah dan tanam padi pola SRI (sistem Rice of Intesification) dibungkus dalam Sekolah Lapang.
Mengapa Sekolah Lapang?
Alas an yang utama adalah dengan adanya praktek langsung terhadap para petani merupakan bahasa petani yang paling sederhana serta mudah dipahami, dan itu adalah bahasanya  petani. Melalui praktek langsung akan mudah mengambil kesimpulan.
Lewat sekolah lapang atau SL. Petani akan memposisikan dirinya sebagai subyek bukan sebagai obyek, sebab mereka harus menggali potensinya sendiri yang dimiliki,  lahan dijadikan sebagai perpustakaan alam  serta lahan harus mampu dijadikan sebagai laboratoirium alam bagi petani.
Dalam program pertanian organik di SLPO Karuni ikut terlibat beberapa penyuluh pertanian belajar bersama dalam satu lahan .
“Dengan adanya program SLPO Karuni kesempatan bagi saya duduk berdampingan bareng petani, sehingga kendala dilapangan yang ditemukan dihadapi secara bersama-sama pula.” Ujar Yakobus Oramalo, salah seorang petugas penyuluh pertanian dari Weejewa timur.
Ternak dan Pertanian
Charles Geli, Ketua Kelompok SLPO Karuni

Pulau Sumba sejak dahulu terkenal dengan sebutan “Lumbung Ternak”  meski sebagian ternaknya dilepas di padang rumput, namun masih ada ternak-ternak dikandangkan. Sehingga kotoran ternaknya bisa  dimanfaatkan untuk kebutuhan pertanian sebagai pupuk dasar tanaman. Begitupun sebaliknya limbah pertanian bisa diperuntukan bagi ternak. Ternak dan pertanian tidak bisa dipisahkan.
“Karena masyarakat  belum paham cara bertani yang baik dan benar banyak kotoran ternak dibuang begitu saja tidak digunakan. Seperti kotoran ternak ayam yang saya miliki berkarung-karung dibuang jauh-jauh dari kandang.” Kata Mastur seorang peternak ayam pedaging di pulau Sumba.
Penanganan Hama dan Penyakit
Dalam budidaya tanaman baik sayur maupun padi. Jika petani menghadapi masalah serangan  hama dan penyakit yang ditanyakan langsung  apa obatnya? Ini adalah pemahaman yang keliru. Sebab walau bagaimanpun petani ikut andil menciptakan hama dan penyakit pada tanaman miliknya.tanpa mau mengetahui penyebabnya.
Para petani di Pulau Sumba belum memahami bagaimana membedakan hama, penyakit dan musuh alami/predator sampai ketingkat penanganannya. Hal ini diakibatkan oleh wawasan dan sumberdaya manusia  yang dimilikinya masih minim.
Contoh kasus di lalapangan : saat padi petani diserang hama tikus, otomatis petani  bertanya pada petugas penyuluh pertanian, apa obat untuk membunuh tikus? Padahal sesungguhnya petani itu ikut andil mendatangkan hama tikus. Dengan  pematang tidak bersih ,tidak dipakainya sistim legowo, tanam tidak seragam dan sebagainya. Sedangkan hama tikus paling suka di tempat kotor dan gelap serta rimbun.
“terkadang jika di lapangan ada kendala yang dihadapi petani kita sebagai petugas tidak tahu sering menghindar, padahal itu tidak menyelsaikan masalah.” Tandas Yakobus Oramalo
Tanam Padi Pola SRI (Sistem Rice of Intensification)                                                 
Pola SRI pertama kali diterapkan di Madagaskar seiring dengan waktu sampailah ke indonesia melalui berbagai pelatihan  MAS (manajemen Akar Sehat)
Pertama kali tanam padi pola SRI  di pulau Sumba oleh IPPHTI di desa Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur. Pada awal januari tahun 2012, saat dilanda rawan pangan akibat kemarau panjang. Hasil produksi berdasarkan sistem ubinan mencapai  6,4 ton perhektar.
Sedanglan di Karuni mulai tanam pada  pertengan bulan Juli tahun 2013, saat ini masuk usia 49 hst (Hari setelah tanam)/ minggu ke 7 , dengan rata-rata  padi mencapai 27 anakan dalam satu rumpun, padahal awal tanam hanya satu anakan saja.
“Ketika praktek tanam  pola SRI, hati ini ragu-ragu biasanya 5 sampai 6 bahkan 8 anakan dalam satu tancapan itu kebiasaan yang sudah turun temurun. Sekarang dengan melihat perkembangan dan pertumbuhan pada minggu ke 7 sudah terjawab dan rasa ragu hilang entah kemana.” Jelas Lusyiana Ghunu, seorang penyuluh yang ikut dalam kelompok SLPO Karuni.
Pola SRI hanya membutuhkan benih 8 kg perhektar, usia semai maksimal 12 hari, tanam satu, bisa hemat bibit, hemat air serta tanpa menggunakan bahan bahan kimia sintetis yang akan merusak sifat kimia biologis tanah. Kisaran produksi mencapai 10 hingga 12 ton setiap hektar.
“Kebiasaan kami petani disini kalau tebar benih antara 80 hingga 100 kg/ perhektar, jika usia semaipun paling cepat 3 minggu siap tanam, bahkan jika daunnya tinggi dipotong baru di tanam ke sawah. Pola SRI sangat jauh berbeda , semoga dengan model yang kami dapatkan akan mencerahkan kehidupan petani di Pulau Sumba.” Cerita Charles Geli , Ketua Kelompok SLPO Karuni
Semoga dengan adanya program pemberdayaan pertanian organi bagi masyarakat petani di Karuni Kabupaten Sumba Barat Daya . ke depan akan mampu meningkatkan wawasan dalam menuju kemandirian pangan daerah.
Salam Organik...!
(Rahmat Adinata, Koordinator IPPHTI Sumba)
Catatan : Rekam jejak IPPHTI di Kabupaten Sumba Barat Daya,NTT







Tidak ada komentar:

Posting Komentar