Sekolah
Lapang Pertanian Organik ,SLPO Karuni .Di Desa Karuni Kecamatan Loura Kabupaten
Sumba Barat Daya, NTT. Dengan bimbingan Ikatan
Petani Pengendalian Hama Terpadu
Indonesia,IPPHTI. Sebuah program pemberdayaan petani dalam hal meningkatkan kemandirian pangan.
Satu bentuk
sekolah lapang diikuti beberapa orang petani dan penyuluh permengenaitanian untuk belajar praktek bersama pertanian organik. Di lahan belajar
yang tidak begitu luas.
Mereka
belajar dari mulai seleksi benih sehat, persemaian, pembuatan pupuk organik
padat,pupuk organik cair, pestisida nabati, nutrisi ternak, pakan ternah dan
tanam padi pola SRI (sistem Rice of Intesification)
dibungkus dalam Sekolah Lapang.
Mengapa
Sekolah Lapang?
Alas an yang utama adalah dengan adanya praktek
langsung terhadap para petani merupakan bahasa petani yang paling sederhana
serta mudah dipahami, dan itu adalah bahasanya
petani. Melalui praktek langsung akan mudah mengambil kesimpulan.
Lewat sekolah
lapang atau SL. Petani akan
memposisikan dirinya sebagai subyek bukan sebagai obyek, sebab mereka harus
menggali potensinya sendiri yang dimiliki,
lahan dijadikan sebagai perpustakaan alam serta lahan harus mampu dijadikan sebagai
laboratoirium alam bagi petani.
Dalam program pertanian organik di SLPO Karuni ikut terlibat beberapa
penyuluh pertanian belajar bersama dalam satu lahan .
“Dengan adanya program SLPO Karuni kesempatan bagi
saya duduk berdampingan bareng petani, sehingga kendala dilapangan yang
ditemukan dihadapi secara bersama-sama pula.” Ujar Yakobus Oramalo, salah seorang petugas penyuluh pertanian dari
Weejewa timur.
Ternak dan
Pertanian
“Karena masyarakat belum paham cara bertani yang baik dan benar
banyak kotoran ternak dibuang begitu saja tidak digunakan. Seperti kotoran
ternak ayam yang saya miliki berkarung-karung dibuang jauh-jauh dari kandang.”
Kata Mastur seorang peternak ayam pedaging di pulau Sumba.
Penanganan
Hama dan Penyakit
Dalam budidaya tanaman baik sayur maupun padi. Jika
petani menghadapi masalah serangan hama
dan penyakit yang ditanyakan langsung
apa obatnya? Ini adalah pemahaman yang keliru. Sebab walau bagaimanpun
petani ikut andil menciptakan hama dan penyakit pada tanaman miliknya.tanpa mau
mengetahui penyebabnya.
Para petani
di Pulau Sumba belum memahami
bagaimana membedakan hama, penyakit dan musuh alami/predator sampai ketingkat
penanganannya. Hal ini diakibatkan oleh wawasan dan sumberdaya manusia yang dimilikinya masih minim.
Contoh kasus
di lalapangan : saat padi petani diserang hama tikus, otomatis petani bertanya pada petugas penyuluh pertanian, apa
obat untuk membunuh tikus? Padahal sesungguhnya petani itu ikut andil
mendatangkan hama tikus. Dengan pematang
tidak bersih ,tidak dipakainya sistim legowo, tanam tidak seragam dan
sebagainya. Sedangkan hama tikus paling suka di tempat kotor dan gelap serta
rimbun.
“terkadang
jika di lapangan ada kendala yang dihadapi petani kita sebagai petugas tidak
tahu sering menghindar, padahal itu tidak menyelsaikan masalah.” Tandas Yakobus
Oramalo
Tanam Padi Pola SRI
(Sistem Rice of Intensification)
Pola SRI
pertama kali diterapkan di Madagaskar seiring dengan waktu sampailah ke
indonesia melalui berbagai pelatihan MAS
(manajemen Akar Sehat)
Pertama kali tanam padi pola SRI di pulau Sumba oleh IPPHTI di desa Makamenggit,
Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur. Pada awal januari tahun
2012, saat dilanda rawan pangan akibat kemarau panjang. Hasil produksi
berdasarkan sistem ubinan mencapai 6,4
ton perhektar.
Sedanglan di
Karuni mulai tanam pada pertengan bulan
Juli tahun 2013, saat ini masuk usia 49 hst (Hari setelah tanam)/ minggu ke 7 ,
dengan rata-rata padi mencapai 27 anakan
dalam satu rumpun, padahal awal tanam hanya satu anakan saja.
“Ketika
praktek tanam pola SRI, hati ini
ragu-ragu biasanya 5 sampai 6 bahkan 8 anakan dalam satu tancapan itu kebiasaan
yang sudah turun temurun. Sekarang dengan melihat perkembangan dan pertumbuhan
pada minggu ke 7 sudah terjawab dan rasa ragu hilang entah kemana.” Jelas
Lusyiana Ghunu, seorang penyuluh yang ikut dalam kelompok SLPO Karuni.
Pola SRI
hanya membutuhkan benih 8 kg perhektar, usia semai maksimal 12 hari, tanam
satu, bisa hemat bibit, hemat air serta tanpa menggunakan bahan bahan kimia
sintetis yang akan merusak sifat kimia biologis tanah. Kisaran produksi
mencapai 10 hingga 12 ton setiap hektar.
“Kebiasaan
kami petani disini kalau tebar benih antara 80 hingga 100 kg/ perhektar, jika
usia semaipun paling cepat 3 minggu siap tanam, bahkan jika daunnya tinggi
dipotong baru di tanam ke sawah. Pola SRI sangat jauh berbeda , semoga dengan
model yang kami dapatkan akan mencerahkan kehidupan petani di Pulau Sumba.”
Cerita Charles Geli , Ketua Kelompok SLPO
Karuni
Semoga dengan adanya program pemberdayaan pertanian organi bagi masyarakat petani di Karuni Kabupaten Sumba Barat Daya . ke depan akan mampu meningkatkan wawasan dalam menuju kemandirian pangan daerah. |
Salam Organik...!
(Rahmat Adinata, Koordinator IPPHTI
Sumba)
Catatan : Rekam jejak IPPHTI di Kabupaten Sumba Barat
Daya,NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar