Masih segar
dalam ingatan saat kedatangan seorang ibu dari Kalu ke studio radio Max Fm 96,9
Waingapu Sumba timur. Waktu itu sekitar
awal bulan Oktober tahun 2012.
Ibu tersebut
mengaku sebagai pendengar setia radio
max fm dalam acara “ Ayo Bertani Organik” yang tayang setiap hari minggu mulai
jam 18 .00 hingga 20.00 malam Wita. Kedatangannya kebetulan diterima oleh Direktur Radio Max fm, Heinrick
dengi.
Sorenya mengunjungi
lahan tersebut, tampak beberapa orang
ibu sedang sibuk mencangkul lahannya.lahan yang digarap ada 20 are Situasi
waktu itu sedang kemarau, kering total karena sudah hampir lima bulan tidak
turun hujan.
Tanah yang
dicangkulpun mengeras selain mengeluarkan debu, namun yang perlu diacungi
jempol adalah semangatnya. Setelah dicangkul tanah dihacurkan dengan kayu,
mungkin supaya jadi lembut memudar sebab setelah dicangkulpun masih tetap
membatu.
“beginilah
kondisi tektur tanah di Sumba Kang, keras jika kemarau namun jika sudah kena
air hujan lengket.” Ujar pak Heinrick menjelaskan.
Ada lima
orang ibu-ibu yang sedang mengerjakan lahan itu, mereka tekun tanpa
menghiraukan kerasnya tanah saat kemarau.” Mungkin kerasnya tanah bisa
dikalahkan dengan kerasnya hati.” Begitu katanya.
Inilah
Sumba, dimana cara bertani seperti pengolahan lahanpun masih tertinggal jauh
bila dibandingkan dengan daerah lain. Mereka belum mengenal sistem bedengan
untuk menghindari banjir saat musim hujan atau pemilahan untuk tempat tanaman.
Kondisi
cuaca sedang kemarau, tanah-tanah retak mengeras, pepohonan meranggas ditambah
lagi angin hawanya panas, pulau Sumba bisa disebut cuacanya ekstrim bila
membandingkan dengan daerah-daerah lain di belahan Nusantara ini. Cuaca dengan
angin yang kurang nyaman adalah pengaruh dari padang savana , sebab jika
kemarau rerumputan mengering yang nampak hanyalah bebatuan, sedang ketebalan tanah
sekitar 3 hingga 5 centimeter saja.
Dampaknya bila terkena sinar matahari langsung akan memantulkan hawa panas dari
bebatuan tersebut.
“Soalnya
seperti kol kami bisa makan jika ada yang hajatan itupun kalau kol ada, jika
tidak ya bisa setahun atau dua tahun sekali bisa mengkonsumsinya.” Tambah
novianti lagi.
"Kami sudah menamakan kelompoknya Kawara Pandulang artimya saling membantu ,kebetulan sekarang tanggal 5 Oktober -2012." kata Novianti lagi.
kami hanya mengiyakan saja nama kelompok yang dibentuk secara mendadak diantara ibu-ibu yang sedang menggarap lahan itu.
“Di sini
sayuran sejenis kol saja bisa disebut barang langka, kalaupun ada di kirim dari Bima
atau Bali dan harganya sangat mahal untuk ukuran masyarakat di sini.” Pak
heinrick menambahkan.
. “ untuk
kebutuhan gizi keluarga.” Itulah kata –kata yang paling berkesan saat
dilontarkannya.ternyata panas teri bukanlah halangan bagi sekelompok ibu-ibu,
sebab kebutuhan tak bisa ditunda-tunda.
Hari mulai
gelap kamipun pamit dan berjanji esok harinya akan datang kembali. Ada senyum
di wajahnya, ada tetes cahaya yang akan menghinggapinya
(Radita,Pulau Sumba, Agustus 2013)
catatan:Rekam jejak IPPHTI, di Kalu,Kelurahan Prailiu,Kecamatan Kambera,Kabupaten Sumba Timur,NTT. 2012/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar