Jumat, 16 Agustus 2013

"Ibu-ibu Berjuang Demi Pangan"



 Masih segar dalam ingatan saat kedatangan seorang ibu dari Kalu ke studio radio Max Fm 96,9 Waingapu Sumba timur. Waktu itu sekitar  awal bulan Oktober tahun 2012.
Ibu tersebut  mengaku sebagai pendengar setia radio max fm dalam acara “ Ayo Bertani Organik” yang tayang setiap hari minggu mulai jam 18 .00 hingga 20.00 malam Wita. Kedatangannya kebetulan  diterima oleh Direktur Radio Max fm, Heinrick dengi.
“kang ada seorang  ibu minta diajarkan cara bertani sayuran organik, baru saja pulang mungkin sebentar sore kita berkunjung ke lahannya, bagaimana?” Kata pak Heinrick sambil setengah bertanya.
Sorenya mengunjungi lahan  tersebut, tampak beberapa orang ibu sedang sibuk mencangkul lahannya.lahan yang digarap ada 20 are Situasi waktu itu sedang kemarau, kering total karena sudah hampir lima bulan tidak turun hujan.
Tanah yang dicangkulpun mengeras selain mengeluarkan debu, namun yang perlu diacungi jempol adalah semangatnya. Setelah dicangkul tanah dihacurkan dengan kayu, mungkin supaya jadi lembut memudar sebab setelah dicangkulpun masih tetap membatu.
“beginilah kondisi tektur tanah di Sumba Kang, keras jika kemarau namun jika sudah kena air hujan lengket.” Ujar pak Heinrick menjelaskan.
Ada lima orang ibu-ibu yang sedang mengerjakan lahan itu, mereka tekun tanpa menghiraukan kerasnya tanah saat kemarau.” Mungkin kerasnya tanah bisa dikalahkan dengan kerasnya hati.” Begitu katanya.
Inilah Sumba, dimana cara bertani seperti pengolahan lahanpun masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan daerah lain. Mereka belum mengenal sistem bedengan untuk menghindari banjir saat musim hujan atau pemilahan untuk tempat tanaman.
“kami ingin sekali belajar tanam sayur untuk kebutuhan gizi keluarga, seperti yang akang siarkan di radio, makanya saya datang ke studio memohon bimbingan siapa tahu bisa, ibu-ibu pun baru gabung hari ini, sebab kata pak Heinrick harus berkelompok baru bisa dibimbing.” Begitu kata seorang ibu sebagai penggagasnya yang bernama Novianti.
Kondisi cuaca sedang kemarau, tanah-tanah retak mengeras, pepohonan meranggas ditambah lagi angin hawanya panas, pulau Sumba bisa disebut cuacanya ekstrim bila membandingkan dengan daerah-daerah lain di belahan Nusantara ini. Cuaca dengan angin yang kurang nyaman adalah pengaruh dari padang savana , sebab jika kemarau rerumputan mengering yang nampak hanyalah bebatuan, sedang ketebalan tanah  sekitar 3 hingga 5 centimeter saja. Dampaknya bila terkena sinar matahari langsung akan memantulkan hawa panas dari bebatuan tersebut.
Meski kemarau, panas terik. Namun tak mengurangi semangat ingin bertanam sayur bagi ibu-ibu .” jika dibimbing bagaimana caranya merawat hingga panen kami ingin sekali menanam kol, timun dan semangka, air untuk nyiram ada sumur, mungkin nanti ibu ibu yang akan memikulnya.” Kata Novianti setengah berharap.
“Soalnya seperti kol kami bisa makan jika ada yang hajatan itupun kalau kol ada, jika tidak ya bisa setahun atau dua tahun sekali bisa mengkonsumsinya.” Tambah novianti lagi.
"Kami sudah menamakan kelompoknya Kawara Pandulang artimya saling membantu ,kebetulan sekarang  tanggal 5 Oktober -2012." kata Novianti lagi.
kami hanya mengiyakan saja nama kelompok yang dibentuk secara mendadak diantara ibu-ibu yang sedang menggarap lahan itu.

“Di sini sayuran sejenis kol saja bisa disebut  barang langka, kalaupun ada di kirim dari Bima atau Bali dan harganya sangat mahal untuk ukuran masyarakat di sini.” Pak heinrick menambahkan.
“Begini ibu-ibu setelah saya tadi ngobrol dengan Akang, beliau siap membimbing mulai besok sore, jadi siapkan saja daun pisang untuk awal belajar persemaian sayur, selain itu beliau juga akan memberikan bimbingan cara mengolah lahan untuk sayuran.” Pak Heinrick lagi-lagi menjelaskan pada ibu-ibu.
. “ untuk kebutuhan gizi keluarga.” Itulah kata –kata yang paling berkesan saat dilontarkannya.ternyata panas teri bukanlah halangan bagi sekelompok ibu-ibu, sebab kebutuhan tak bisa ditunda-tunda.
Hari mulai gelap kamipun pamit dan berjanji esok harinya akan datang kembali. Ada senyum di wajahnya, ada tetes cahaya yang akan menghinggapinya
(Radita,Pulau Sumba, Agustus 2013)
catatan:Rekam jejak IPPHTI, di Kalu,Kelurahan Prailiu,Kecamatan Kambera,Kabupaten Sumba Timur,NTT. 2012/2013










Tidak ada komentar:

Posting Komentar