Kamis, 04 Juni 2015

Sumba Membangun Kemandirian Sambil Menjawab Kerisauan Global

Ditulis oleh Stepanus Makambombu   
Jumat, 23 Agustus 2013 21:26
Dua alamat facebook di dunia maya beberapa bulan terakhir ini telah mewarnai diskusi-diskusi tentang Sumba. Bagi facebookers, biasanya anda dikenali dari atributnya berupa pribadi atau kelompok diskusi. Tetapi atribut yang ini bukan sekedar atribut biasa, dari namanya mengantar kita pada sebuah gambaran visioner tentang bagaimana Pulau Sumba kedepannya dalam konstelasi Regional, Nasional bahkan Internasional. Kedua atribut ini mengajarkan sesuatu yang membumi pada alam Sumba, realistis dan bisa dilakukan (applicable). Atributnya sungguh menginspirasi, bahkan dari postingan yang diunduh inspirasi ini telah menghasilkan produk-produk yang sudah bisa dinikmati pada tingkat individu maupun kelompok kendatipun masih dalam lingkup terbatas.
Sumba Pulau Energi Terbarukan dan Sumba Pulau Organik merupakan dua atribut dimaksud yang juga adalah identitas program. Program pertama diinisiasi oleh Hivos sebuah NGOs internasional Belanda yang bekerjasama dengan Kementrian ESDM dan Pemda Sumba kemudian program kedua, diinisiasi individu- individu yang mencurahkan minatnya pada isu tersebut. Nampaknya, kumpulan individu-individu ini pun sudah meluas menjadi beberapa kelompok yang mulai menyebar pada wilayah Sumba. Sepengetahuan penulis, sebut saja diantara inisiator utamanya seperti Pak Rahmat Ipphti dan Pak Heinrich Dengi. Entah siapa lagi para inisiator dan champion dibalik program-program tersebut, adakah diantara kita yang pernah berpikir pesan dibalik dua nama aribut di atas dan produk-produknya? Ketika merenung saya langsung tertuju pada sebuah nilai yang selama ini mudah diucapkan dalam forum-forum formal namun miskin tindakan nyata yaitu, pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Sumba Pulau Organik mengingatkan kita pada buku berjudul Silent Spring (Musim Semi yang Senyap) ditulis Rahel Carson (1962) yang membahas tentang dampak buruk penggunaan pestisida DDT secara berlebihan (sporadic) yang dilepas ke biosfer, tidak saja mampu membunuh serangga, tapi juga menerobos rantai makanan melalui populasi makhluk hidup lainnya yang kemudian dikonsumsi manusia dan pada akhirnya menimbulkan berbagai penyakit dan kematian. Paralel dengan peringatan Carson, program Sumba Pulau Energi Terbarukan juga mengingatkan kita pada peringatan kelompok Roma 42 tahun silam melalui bukunya “The Limits to Growth” (Meadows,1972). Buku ini berupa seruan moral untuk mengatasi ketamakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan   
manusia yang tidak terbatas karena dorongan pola hidup (gaya hidup), telah mendorong manusia melalui berbagai pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi mengeksploitasi alam secara berlebihan. Akibat eksploitasi yang tidak terbatas mengancam kehidupan manusia sendiri, dimana telah terjadi penurunan daya dukung alam yang tidak bisa mengikuti tingkat kebutuhan manusia (pertumbuhan manusia). Tantangan utama yang dihadapi dunia saat ini adalah; industrialisasi yang makin cepat, pertumbuhan penduduk yang makin cepat, kurang gizi yang merajalela, makin susutnya unrenewable resources dan lingkungan hidup yang makin rusak. Tidak bisa dipungkiri bahwa seruan kerisauan puluhan tahun silam sudah menjadi bagian dari realitas kehidupan kita saat ini.
Kemandirian dan Keberlanjutan
Kedua program ini tidak saja mengajak kita untuk berefleksi pada pesan-pesan moral dari kedua buku diatas, tetapi juga membawa pesan lain yang relevan dengan situasi dan kondisi kita sebagai warga Sumba. Yaitu sedang mengajak dan mengajari bagaimana membangun sebuah kemandirian dengan cara mengenali dan mengelola potensi sumber daya yang dimiliki, namun selama ini tidak dikelola secara optimal karena persoalan keterbatasan sumber daya manusia maupun kebijakan pengelolaan yang tidak tepat.
Berbicara tentang sektor potensial di Sumba, maka sektor pertanian masih menjadi sektor utama yang dapat dilihat dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDRB). Contoh kasus Sumba Timur, menunjukkan sektor pertanian (pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan) menjadi sektor utama yang significant kontribusinya terhadap PDRB. Kendatipun menunjukkan trend yang menurun dari tahun ke tahun dibandingkan pada satu dekade lalu masih bisa mencapai 40an persen terhadap PDRB, namun beberapa tahun terakhir ini trend kontribusinya menurun pada kisaran 30an persen. Trend ini merupakan fenomena umum yang terjadi pada semua daerah di Indonesia akibat modernisasi berbagai sektor perekonomian sehingga terjadi peralihan ke sektor lainya seperti sektor jasa.
Kendati demikian, untuk kasus Sumba dan Sumba Timur khususnya sektor pertanian masih tetap menjadi tulang punggung perekonomian yang belum tergantikan oleh sektor lainnya. Sebab, dari 101.711 total jumlah angkatan kerja di Sumba Timur, ada 68.03 persen penduduk yang saat ini sementara bekerja di sektor pertanian (Sumba Timur dalam angka, 2012). Sayangnya, jumlah tenaga kerja yang dominan tidak proporsional dengan produktivitasnya jika dilihat kontribusinya terhadap PDRB dibandingkan dengan sektor bangunan dan konstruksi, perdagangan, jasa dengan jumlah tenaga kerja lebih sedikit tetapi kontribusinya besar terhadap PDRB (tabel 1).
Lantas apa relevansinya fakta-fakta di atas dengan program Sumba Pulau Energi Terbarukan dan Sumba Pulau Organik? Sejatinya, program ini sedang menawarkan sebuah inovasi untuk menjadikan Sumba sebagai sebuah pulau yang terdepan dalam hal mengembangkan produk-produk ramah lingkungan, kehidupan yang lebih sehat dan selaras dengan alam, memanfaatkan energi yang bersih dan efisien untuk keberlanjutan hidup alam dan manusia. Potensi tenaga kerja sektor pertanian yang dominan akan menjadikan gerakan ini sebagai gerakan kolektif yang meluas (massive) untuk memproduksi dan menggunakan produk-produk ramah lingkungan. Untuk mengoperasionalkan ide ini tidak membutuhkan areal pertanian yang luas sebagaimana yang di cari para investor selama ini untuk berinvestasi. Kita (Pemda) begitu terkesima dengan kunjungan-kunjungan investor, difasilitasi dengan berbagai kemudahan namun sampai sekarang rencana investasinya (roadmap) masih kabur apalagi hasilnya. Sebaliknya, kedua program ini dengan memanfaatkan lahan pekarangan atau kebun yang selama ini digunakan petani atau rumah tangga sudah cukup untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang sehat, berkualitas dan berdaya saing. Mengapa bukan kelompok-kelompok ini yang mestinya difasilitasi dengan kebijakan dan anggaran yang memadai untuk perluasannya (dissemination and scaling up), dari pada sekedar menganggumi dan tersenyum ketika mengujungi dan melihat hasil-hasil kerja mereka dengan liputan media, setelah itu so what gitu lho? Maaf hanya sekedar pertanyaan?
Program ini tidak sedang menawarkan hal-hal yang muluk, misalnya dengan memilih program ini bisa segera menaikkan produksi pertanian, sebab kita tahu ini bukan hal mudah, namun yang ditawarkan adalah kualitas produk berupa garansi kehidupan yang berkelanjutan bagi manusia dan alam Sumba. Bagaimanapun gaya hidup (life style) orang-orang perkotaan kelas menengah mulai memburu produk-produk organik dan berani membayar berapapun harganya demi kehidupan yang sehat. Bisa dibayangkan jika gerakan Sumba Pulau Energi Terbarukan dan Sumba Pulau Organik menjadi gerakan sebuah gerakan massive oleh 68.03 persen tenaga kerja sektor pertanian, maka Sumba benar-benar akan menjadi tujuan banyak orang untuk berburu produk-produk organik dan melihat pemanfaatan energi terbarukan, selain itu Sumba akan memiliki daya tarik wisatawan dengan komoditas agro-eco wisata yang dipromosikan. Ini lebih mendesak dari pada menunggu wisatawan datang melihat tulisan sandlewood, sebagaimana dipergunjingkan facebooker di Sumba.
Dimensi lain yang sedangkan ditawarkan oleh program ini adalah mengajarkan masyarakat Sumba untuk memelihara dan melestarikan budaya. Sebagai daerah beriklim semi-arid, pola hidup dominan adalah bertani dan beternak merupakan kombinasi kegiatan yang komplementer dan sinergis untuk keberlanjutan hidup. Itu juga yang diajarkan oleh kedua program ini dimana kedua isu tersebut saling komplementer dan sinergis. Bahkan, jika selama ini praktek bertani-beternak kita terkesan konvensional, yaitu berorientasi pada tujuan dan rantai manfaat yang berputar disekitar lingkungan rumah tangga, relasi sosial-kekerabatan yang kemudian bermuara pada ritual-ritual budaya. Maka kedua program ini sedang mengajarkan sesuatu yang transformatif. Pola bertani-beternak bisa saja konvensional (karena itu warisan) namun orientasi tujuan dan rantai manfaat yang lebih panjang. Produk-produknya tidak hanya berputar dilingkungan rumah tangga dan kerabat tetapi meluas pada area pasar yang lebih luas, seperti; gaya hidup yang sehat, penggunaan sumber energi yang efisien, bersih dan sehat, keselamatan dan keberlanjutan lingkungan.
Hal yang tidak kalah penting dari program ini, yaitu sedang mengajarkan kita bagaimana menurunkan derajat ketergantungan bahkan mungkin saja memutus rantai ketergantungan yang selama ini membelenggu. Sekurang-kurangannya ada 2 jenis ketergantung yang relevan dengan topik ini. Pertama, ketergantungan pada barang-barang ekonomi yang tidak bisa diproduksi di Sumba sehingga harus mendatang dari luar Sumba. Kenyataan ini harus diakui, bahwa dalam beberapa hal kita memang harus bergantung pada pihak luar karena barang-barang tersebut tidak bisa dihasilkan sendiri. Kita tidak bisa bangun jalan, jembatan, rumah dan berkendaraan tanpa bergantung pada dukungan bahan baku dari luar. Sayangnya, ketergantungan ini mulai merambah pada kebutuhan-kebutuhan pokok yang dikomsumsi sehari-hari. Salah satu contoh, produksi beras daerah sudah tidak bisa mencukupi konsumsi warga. Laju pertumbuhan produksi padi daerah sejak tahun 2008 – 2012 hanya mencapai 3,2 persen (masih dalam bentuk padi). Sementara laju pertumbuhan beras yang masuk ke daerah dilihat dari volume bongkar barang dipelabuhan sejak tahun 2008 – 2012 mencapai 9,5 persen (Sumba Timur dalam angka BPS, 2008-2012). Margin ini mengindikasikan bahwa produksi padi daerah tidak mampu atau mengalami penurunan dalam mencukupi kebutuhan warga sehingga harus mendatangkan beras dari luar. Belum lagi jika bicara siapa yang paling diuntungkan dari ketergantungan ini, sederhananya bisa dilihat dari profil pelaku-pelaku ekonomi paling dominan mulai dari sektor informal sampai sektor formal. Kemudian dari aneka barang yang diusahakan oleh berbagai sektor usaha merupakan barang-barang yang produksinya harus didatangkan dari luar. Dari potret ini bisa diduga siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari ketergantungan ini? Kedua, ketergantungan pada sumber energi khususnya untuk penerangan. Saat ini rasio elektrifikasi di Sumba baru mencapai 24,5 persen (http://energitoday.com/2013/04/03/ikon-energi-terbarukan-itu-bernama-sumba). Kondisi topografis yang sulit menjadi salah satu kendala masuknya jaringan listrik PLN (on grid) pada wilayah-wilayah perdesaan. Oleh sebab itu, pelayanan dengan listrik tanpa jaringan (off grid) melalui pemanfaatan sumber-sumber energi lokal yang ada seperti biogas, tenaga surya dan air menjadi solusi terbaik untuk kondisi ini sehingga rasio elektrifikasi di Sumba bisa ditingkatkan.

Sungguh, jika membentangkan apa yang sedang ditawarkan oleh kedua program ini rasa-rasanya kita perlu mereview kebijakan pembangunan yang sedang kita jalankan, apakah kita sedang melaksanakan pembangunan yang “membangun” secara berkelanjutan atau kita sedang melaksanakan pembangunan yang menciptakan” ketergantungan” secara berkelanjutan?
Pada akhir dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan apresiasi kepada para champion program Sumba Pulau Energi Terbarukan dan Sumba Pulau Organik karena kontribusi anda merupakan impian banyak orang di dunia saat ini untuk hidup secara sehat dan berkelanjutan selaras alam, berkontribusi pada upaya-upaya global sebagai bagian dari masyarakat dunia. Sumba merupakan bagian dari jawaban atas kerisauan dan seruan buku Silent Spring dan The Limits To Growth.. Luar biasa bukan? [*]
* Stepanus Makambombu, Mahasiswa Program Doktor Studi Pembangunan UKSW)

s



Tidak ada komentar:

Posting Komentar