Matahari
mulai beranjak naik, cuaca cerah agak sedikit panas.Kendaran yang kami tumpangi
mulai meninggalkan halaman Radio Max Fm, Waingapu Sumba Timur.
“Maaf agak
telat ,bangun kesiangan.” Kataku , membuka pembicaraan dalam perjalanan.
“Ooh tidak
masalah.” Jawab pak Heinrick Dengi
sebagai komandan kami.
Ya …. cuaca
kota waingapu biasanya panas, namun akibat turun hujan semalaman udara begitu
dingin dan terasa sejuk, hingga membuat tidurku nyenyak sekali hingga bangunpun kesiangan , padahal sudah janjian
akan berangkat ke Wunga pukul 6.30 pagi.
“ini
pertemuan terahir dengan petani ya..?”
Tanya Pak Heinrick
“iya betul.”
Jawabku singkat
Dalam
kendaraan ada beberapa orang menuju Wunga,
aku, Pak Heinrick, bapak Veny, Mas Eko, dan Bapak Wendi, ditambah Om
Anton yang mengemudikan kendaraan.
“nanti
behenti dulu sebentar di pasar Waingapu
beli pahapa.” Intruksi pak Heinrick pada
om Anton.
Begitu
sampai di pasar waingapu , kendaraan berhenti.. Pahapa adalah istilah untuk makan sirih pinang sebagai khasnya
budaya orang Sumba, sangat berbeda
dengan sirih di tempat lain.di Sumba yang di
makan adalah buahnya, sedangkan ditempat lain daunnya. Tua muda sudah biasa membudaya mengkonsumsi sirih. Di luar sumba hanya
kalangan nenek-nenek saja, itu pun sangat jarang kecuali di pedesaan.
Andaikan
hendak berkunjung ke keluarga di desa atau di kampng-kampung buah tangan yang
utrama bagi masyarakat Sumba adalah pahapa.begitupun jika kita bertamu pada
orang sumba ,yang pertama disuguhkan adalah pahapa. Ini sebagai bentuk
penghargaan atau penghormatan pada sang tamu, biasanya pahapa diwadahi dari daun pandan yang dianyam
berbentuk segi empat.
Kendaran
yang kami tumpangi terus melaju membelah padang savanna yang luas, sejauh mata memandang hanyalah hamparan padang rumput . Nampak segerombolan
ternak sedang menncari makan, seperti kuda , sapi dan kerbau.bisa puluhan
bahkan ratusan jumlahnya.
Padang
savanna mulai menguning warnanya akibat tidak turun hujan cukup lama. Ternak-ternak
tak menghiraukan kendaran yang melaju kencang. Sesekali terlihat penduduk
menunggang kuda sambil mengangkut air dalam jerigen, yang dimpan di punggung
kuda..
Tak terasa
sudah melewati pasar Kadahang, berarti ke tempat tujuan masih sekitar delapan
kilometer lagi. Situasi pasar yang buka setiap hari sabtu bagi masyarakat Kecamatan Haharu terlihat ramai. Untuk segala
kebutuhan sembako , warga haharu dan sekitarnya belanja di pasar mingguan ini.
“Sambil istirahat kita berhenti di Bukit Signal.” Begitu
perintah pak Heinrick.
“Bukit
Signal….? Hatiku berbisik setengah bertanya
Menurut
Bapak Veny, setiap orang yang melakukan perjalanan jauh dari waingapu ke Sumba
tengah maupun ke sumba barat lewat Haharu
selalu berhenti di Bukit signal, karena di tempat inilah jaringan signal
yang bagus untuk berkomunikasi melalui telepon seluler.
“Hampir
sebagian orang sumba yang sering lewat sini pasti berhenti dulu sekedar
istirahat atau menghubungi relasinya maupun keluarganya.” Katanya
“Jaringan di
sini sangat kuat.” Kata bapak Veny lagi.
Ahirnya
sampai di bukit signal, sebuah tempat
yang tidak begitu istimewa.letaknya antara Desa wunga dan Kadahang. Bukit signal ditandai dengan dua
pohon besar di sebelah kiri dan kanan
jalan,ada batu-batu besar untuk duduk beristirahat melepas penat .
“mungkin
alam yang menyediakan batu ini.” Kataku dalam hati,sambil mencoba duduk diatas
batu besar bawah pohon.
Berada di
bukit signal memang cukup menyenangkan , saat pandangan tertuju ke sebelah
timur Nampak hamparan padang rumput yang mulai menguning dengan dibatasi oleh lautan lepas. Kota waingapu pun tampak
terlihat dari bukit signal ini.
Jika
memandang ke kiri bagian selatan Nampak gunung
di daerah wunga yang membujur kaku, seperti sebuah perahu besar yang tertelungkup. Menurut kabar di
situlah pertama kali orang sumba berada,
hingga ahirnya menyebar ke seluru pulau Sumba hingga sekarang.
“Astagfirulloh…!” gumamku. Saking asyiknya berada di bukit ini
hingga aku lupa menghubungi kekasih hatiku yang sedang terbaring sakit.
“Halooo…..!
“Ya halo,
sudah di mana…? Tanya Tamara dengan
suara agak parau.
“ini baru
sampai di Bukit Signal, baru ada jaringan, bagaimana sudah mendingan….? Jelasku
sambil bertanya was-was menanyakan kondisi Tamara
yang berada di Waingapu.
“ lumayan
ada kemajuan barusan minum obat.” Jawabnya jelas.
Plooong …
rasanya hatiku mendapat kabar dari
Tamara tentang kondisinya yang sudah mulai membaik. Sebab tadi malam panas badanya naik, terkadang sering
mengigau. Khawatir terserang penyakit malaria.
“Terimakasih
wahai Bukit Signal engkau telah menghubungkan aku dengan Tamara yang sedang
sakit.”aku berucap tanpa sadar
‘tanda-tanda
alam…’ katanya setengah menyindirku.
Aku hanya
tersenyum saja tanpa menjawab
sindirannya, dan langsung masuk
kendaraan karena sudah siap jalan menuju
wunga. Daerah Wunga merupakan Desa yang jauh dari Kota Waingapu sebuah Desa
terpencil ,jarak dari Waingapu sekitar 75 kilo meter.
Ah… suara
parau Tamara masih terngiang di telingaku
sewaktu kutelpon dari Bukit Signal, beruntung ditengah padang rumput
yang luas masih ada jaringan , hingga bisa berkomunikasi dengan Tamara. Siapakah yang pertama kali menemukan
jaringan untuk telpon seluler, hingga ahirnya di juluki tempat itu sebagai
Bukit Signal…?batinku berkecamuk dan bertanya.
Dalam
kendaraan menuju Wunga tak satu pun
yang berani angkat bicara setelah meninggalkan Bukit Signal, masing-masing
asyik dengan pikrannya sendiri. Terlihat di sebelah kanan bapak veny sedang asyik membaca sms,mungkin dari keluarganya atau dari relasi usahanya, bapak
Wendi seperti tak bosan bosan memndang hamparan padang rumput dengan ternaknya
yang bergerombol, mas Eko dan Pak Heindrick seperti di nina bobokan terantuk-antuk karena
jalan yang dilalui rata dan lurus.
Sementara
aku hanyalah membayangkan ingin segera cepat pulang menemui Tamara yang sedang sakit. Mungkin
dengan kehadiranku di sisinya akan
mempercepat proses sembuhnya. Masih segar dalam ingatan, kenapa Tamara jatuh
sakit,itu disebabkan setelah bermain voley
minum air es padahal perut belum terisi makanan, hingga dampaknya jatuh sakit.
“Ah Tamara bikin cemas saja, cepatlah
sembuh.” Bisikku dalam hati, sambil memandangi photo Tamara dalam wall paper
telpon selulerku.
Tamara
bagiku di Sumba ini adalah sebagai mutiara penyemangat, sebab tanpa dia mungkin aku sudah terbang ke suatu tempat
entah di mana. Aku juga tidak tahu.
Kendaraan
sudah memasuki kawasan hutan gamal,hutan buatan masyarakat Wunga. Meskipun
kondisi sedang kemarau namun terasa
sejuk dengan hijaunya hutan buatan itu. sebentar lagi akan sampai.
Tampak para anggota kelompok tani Wunga Timur yang ku bimbing sedang pada
sibuk, ada yang sedang nyiram , mengikat tanaman tomat, memasang lanjaran untuk
paria, membuat bedengan.
“Petaniii….!!” Teriakku dari dalam kendaraan
sebelum turun menghampiri mereka.
“Jooooosssss…..! jawab mereka serempak
dengan semangat sembari tangannya dikepalkan ke atas.
Tentu saja
teriakanku itu membuat kaget Mas Eko dan bapak Wendi, sehingga kedua orang ini
penasaran dan bertanya.
“Kenapa
mereka jawab Jos ..artinya apa? Tanya Mas
Eko.
“Jos artinya Jangan Omong Saja…mereka harus praktek
langsung supaya ada kesimpulan.” Jawabku
“Oooh…” sela
bapak wendi dan Mas Eko
bareng sambil mangut-manggut
Hari ini
adalah hari pertemuan terahir dengan kelompok tani ini. Semua anggota
kebanyakan ibu-ibu, jumlahnya ada 13 orang sedangkan laki-lakinya hanya ada dua
orang saja. Mereka dilatih tentang tanam sayuran organik yang ramah lingkungan
dan berkelanjutan.
“Kami sejak
lahir di Wunga belum pernah tanam sayur seperti ini, kami hanya tanam jagung ,
ubi jalar dan kacang. sedangkan yang kami makan hanyalah daun singkong dan
pucuk waluh saja itupun jika musim hujan tiba.” Kata Matius Turanjanji waktu
itu, saat panen perdana sayuran organik yag mereka budidayakan.
Wunga
merupakan gambaran salah satu yang
mewakili daerah gersang diKabupaten Sumba Timur. Dimana masyarakat nya sangat
sulit untuk mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari selain berharap
datangnya air hujan, adapun jika mereka butuh air harus berjuang dengan jarak tempuh
yang cukup jauh ke Lindi, dengan jarak
sekitar tiga kilo meter berjalan kaki, ditambah kedalaman tebih 120 meter dan
kemiringan 90 derajat.
Para anggota
kelompok tani sudah berkumpul di sebuah saung yang sangat sederhana, dengan
beralaskan anyaman dari daun pandan.
“Selamat
siang semuanya, hari ini adalah hari terahir bertemu dengan saya secara
program, namun seara kekeluargaan besok atau lusa saya pasti akan berkunjung ke
Wunga.” Kataku membuka pembicaraan pada kumpulan itu. Semua petani tertunduk,
ada keharuan diwajahnya, tak ada yang berani bicara sedikitpun..
“Apa yang
telah disampaikan selama belajar bertani
organic semoga bermanfaat dan mampu
membuka wawasan serta merubah pola pikir kita ke depan, walaupun bapak dan ibu
tinggal didaerah gersang seperti ini saya harapkan tidak mengurangi
semangatnya, sebab kebutuhan itu tidak bisa ditunda.” Tambahku lagi panjang
lebar.
“Kami
berharap , bapak akan sering berkunjung ke sini dan kami akan sangat senang
sekali menerima kehadiran bapak, selain itu kami merasa bersyukur dan
berterimakasih atas bimbingan yang bapak berikan selama ini, dari tidak tahu
menjadi tahu tentang cara bertani, ini merupakan bekal kami untuk hari depan
bersama keluarga dan masyarakat Wunga.” Kata Matius mewakili teman anggotanya.
“Tentu saja
,saya akan berkunjung ke sini. lagi” Selaku
“Dan tolong
apa yang telah disampaikan diperaktekan
terus, kemudian ditularkan pada
masyarakat Wunga yang lain, jika menghadapi kendala di lapangan segera kontak
saya.” Kataku lagi
“Lagi pula
sekarang sudah ada sumur yang dibuatkan Pak Heinrick dan Pak Pendeta Iskandar
Saher, jadi kami pasti tambah semangat.” Kata Matius Menambahkan., yang di iya kan oleh teman - teman anggotanya.
“iya pak
pasti kami akan menghubungi bapak lari dulu ke bukit signal, soalnya di sini
sangat sulit jaringannya.” Kata Mariana , salah satu anggota ibu-ibu mulai
angkat bicara. Ya
, lewat bukit signal mereka akan menghubungiku, sama seperti aku tadi menanyakan kondisi Tamara yang terbaring
sakit.
Ahirnya kami
pamit dan bersalaman, ada kehangatan yang dirasakan lewat tangan-tangan mereka.
Ada kerinduan yang tersimpan dalam benakku buat mereka.
“semoga
mereka menjadi petani yang sukses, setelah kutinggalkan.sebab daerah Sumba Timur sangat butuh tenaga dan sumbangan pikiran mereka demi kemajuan pangannya” Lirihku berdoa dalam
hati
“Petaniii……..!!!!” teriaku dari kendaraan
sambil jalan.
“Jooooooossssss…..!!!! jawab mereka serempak sambil tangannya ke atas dikepalkan.
(Radita, Waingapu, 18/5/13)
Catatan :
jos = artinya Jangan Omong Saja
: Mas Eko dan Bapak Wendi ikut ke Wunga , untuk survai mau pasang kincir angin di sumur Wunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar