Minggu, 19 Mei 2013

“Ku Hubungi Saat Di Bukit Signal”




 
Matahari mulai beranjak naik, cuaca cerah agak sedikit panas.Kendaran yang kami tumpangi mulai meninggalkan halaman Radio Max Fm, Waingapu Sumba Timur.
“Maaf agak telat ,bangun kesiangan.” Kataku , membuka pembicaraan dalam perjalanan.
“Ooh tidak masalah.” Jawab pak Heinrick Dengi sebagai komandan kami.
Ya …. cuaca kota waingapu biasanya panas, namun akibat turun hujan semalaman udara begitu dingin dan terasa sejuk, hingga membuat tidurku nyenyak sekali hingga  bangunpun kesiangan , padahal sudah janjian akan berangkat ke Wunga pukul 6.30 pagi.
“ini pertemuan terahir dengan petani  ya..?” Tanya Pak Heinrick
“iya betul.” Jawabku singkat
Dalam kendaraan ada beberapa orang menuju Wunga, aku, Pak Heinrick, bapak Veny, Mas Eko, dan Bapak Wendi, ditambah Om Anton yang mengemudikan kendaraan.
“nanti behenti dulu sebentar  di pasar Waingapu beli pahapa.” Intruksi  pak Heinrick pada om Anton.
Begitu sampai di pasar waingapu , kendaraan berhenti.. Pahapa adalah  istilah  untuk makan sirih pinang sebagai khasnya budaya  orang Sumba, sangat berbeda dengan sirih di tempat lain.di Sumba yang di  makan adalah buahnya, sedangkan ditempat lain  daunnya. Tua muda sudah biasa  membudaya mengkonsumsi sirih. Di luar sumba hanya kalangan nenek-nenek saja, itu pun sangat jarang kecuali di pedesaan.

Andaikan hendak berkunjung ke keluarga di desa atau di kampng-kampung buah tangan yang utrama bagi masyarakat Sumba adalah pahapa.begitupun jika kita bertamu pada orang sumba ,yang pertama disuguhkan adalah pahapa. Ini sebagai bentuk penghargaan atau penghormatan pada sang tamu, biasanya pahapa  diwadahi dari daun pandan yang dianyam berbentuk segi empat.
Kendaran yang kami tumpangi terus melaju membelah padang savanna  yang luas, sejauh mata memandang hanyalah  hamparan padang rumput . Nampak segerombolan ternak sedang menncari makan, seperti kuda , sapi dan kerbau.bisa puluhan bahkan ratusan jumlahnya.
Padang savanna mulai menguning warnanya akibat tidak turun hujan cukup lama. Ternak-ternak tak menghiraukan kendaran yang melaju kencang. Sesekali terlihat penduduk menunggang kuda sambil mengangkut air dalam jerigen, yang dimpan di punggung kuda..
Tak terasa sudah melewati pasar Kadahang, berarti ke tempat tujuan masih sekitar delapan kilometer lagi. Situasi pasar yang buka setiap hari sabtu  bagi masyarakat  Kecamatan Haharu terlihat ramai. Untuk segala kebutuhan sembako , warga haharu dan sekitarnya belanja di pasar mingguan ini.
“Sambil  istirahat kita berhenti di Bukit Signal.” Begitu perintah pak Heinrick.
“Bukit Signal….? Hatiku berbisik setengah bertanya
Menurut Bapak Veny, setiap orang yang melakukan perjalanan jauh dari waingapu ke Sumba tengah maupun ke sumba barat lewat Haharu  selalu berhenti di Bukit signal, karena di tempat inilah jaringan signal yang bagus untuk berkomunikasi melalui telepon seluler.
“Hampir sebagian orang sumba yang sering lewat sini pasti berhenti dulu sekedar istirahat atau menghubungi relasinya maupun keluarganya.” Katanya
“Jaringan di sini sangat kuat.” Kata bapak Veny lagi.
Ahirnya sampai di bukit signal, sebuah tempat  yang tidak begitu istimewa.letaknya antara Desa wunga dan  Kadahang. Bukit signal ditandai dengan dua pohon besar  di sebelah kiri dan kanan jalan,ada batu-batu besar untuk duduk beristirahat melepas penat .
“mungkin alam yang menyediakan batu ini.” Kataku dalam hati,sambil mencoba duduk diatas batu besar bawah pohon.
Berada di bukit signal memang cukup menyenangkan , saat pandangan tertuju ke sebelah timur Nampak hamparan padang rumput yang mulai menguning  dengan dibatasi oleh  lautan lepas. Kota waingapu pun tampak terlihat dari bukit signal ini.
Jika memandang ke kiri bagian selatan Nampak gunung  di daerah wunga yang membujur kaku, seperti sebuah perahu  besar yang tertelungkup. Menurut kabar di situlah pertama kali  orang sumba berada, hingga ahirnya menyebar ke seluru pulau Sumba hingga sekarang.
Astagfirulloh…!”  gumamku. Saking asyiknya berada di bukit ini hingga aku lupa menghubungi kekasih hatiku yang sedang terbaring sakit.
“Halooo…..!
“Ya halo, sudah di mana…? Tanya Tamara dengan suara agak parau.
“ini baru sampai di Bukit Signal, baru ada jaringan, bagaimana sudah mendingan….? Jelasku sambil bertanya was-was menanyakan kondisi Tamara yang berada di Waingapu.
“ lumayan ada kemajuan barusan minum obat.” Jawabnya jelas.
Plooong … rasanya hatiku mendapat kabar dari Tamara tentang kondisinya yang sudah mulai membaik. Sebab tadi malam  panas badanya naik, terkadang sering mengigau. Khawatir terserang penyakit malaria.
“Terimakasih wahai Bukit Signal engkau telah menghubungkan aku dengan Tamara yang sedang sakit.”aku berucap tanpa sadar
“ehem….eheemmm….”  tiba tiba deheman pak Heinrick membuyarkan  situasiku yang sedang asyik.
‘tanda-tanda alam…’  katanya setengah menyindirku.
Aku hanya tersenyum saja tanpa menjawab  sindirannya, dan langsung  masuk kendaraan karena  sudah siap jalan menuju wunga.                        Daerah Wunga merupakan Desa yang jauh dari Kota Waingapu sebuah Desa terpencil ,jarak dari Waingapu sekitar 75 kilo meter.
Ah… suara parau Tamara masih terngiang di telingaku  sewaktu kutelpon dari Bukit Signal, beruntung ditengah padang rumput yang luas masih ada jaringan , hingga bisa berkomunikasi dengan  Tamara. Siapakah yang pertama kali menemukan jaringan untuk telpon seluler, hingga ahirnya di juluki tempat itu sebagai Bukit Signal…?batinku berkecamuk dan bertanya.
Dalam kendaraan menuju Wunga tak satu pun yang berani angkat bicara setelah meninggalkan Bukit Signal, masing-masing asyik dengan pikrannya sendiri. Terlihat di sebelah kanan  bapak veny sedang asyik membaca sms,mungkin dari keluarganya atau dari relasi usahanya, bapak Wendi seperti tak bosan bosan memndang hamparan padang rumput dengan ternaknya yang bergerombol, mas Eko dan Pak Heindrick seperti di nina bobokan terantuk-antuk karena jalan yang dilalui rata dan lurus.
Sementara aku hanyalah membayangkan ingin segera cepat pulang menemui Tamara yang sedang sakit. Mungkin dengan kehadiranku  di sisinya akan mempercepat proses sembuhnya. Masih segar dalam ingatan, kenapa Tamara jatuh sakit,itu disebabkan setelah  bermain voley minum air es padahal perut belum terisi makanan, hingga  dampaknya jatuh sakit.
“Ah Tamara bikin cemas saja, cepatlah sembuh.” Bisikku dalam hati, sambil memandangi photo Tamara dalam wall paper telpon selulerku.
Tamara bagiku di Sumba ini adalah sebagai mutiara penyemangat, sebab tanpa dia  mungkin aku sudah terbang ke suatu tempat entah di mana. Aku juga tidak tahu.
Kendaraan sudah memasuki kawasan hutan gamal,hutan buatan masyarakat Wunga. Meskipun kondisi sedang kemarau namun  terasa sejuk dengan hijaunya hutan buatan itu. sebentar lagi akan sampai.
Tampak  para anggota kelompok tani Wunga Timur yang ku bimbing sedang pada sibuk, ada yang sedang nyiram , mengikat tanaman tomat, memasang lanjaran untuk paria, membuat bedengan.
“Petaniii….!!” Teriakku dari dalam kendaraan sebelum turun menghampiri mereka.
Jooooosssss…..! jawab mereka serempak dengan semangat sembari tangannya dikepalkan ke atas.
Tentu saja teriakanku itu membuat kaget Mas Eko dan bapak Wendi, sehingga kedua orang ini penasaran dan bertanya.
“Kenapa mereka jawab Jos ..artinya apa? Tanya Mas Eko.
“Jos  artinya Jangan Omong Saja…mereka harus praktek langsung supaya ada kesimpulan.” Jawabku
“Oooh…” sela bapak wendi  dan Mas Eko  bareng sambil mangut-manggut
Hari ini adalah hari pertemuan terahir dengan kelompok tani ini. Semua anggota kebanyakan ibu-ibu, jumlahnya ada 13 orang sedangkan laki-lakinya hanya ada dua orang saja. Mereka dilatih tentang tanam sayuran organik yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Kami sejak lahir di Wunga belum pernah tanam sayur seperti ini, kami hanya tanam jagung , ubi jalar dan kacang. sedangkan yang kami makan hanyalah daun singkong dan pucuk waluh saja itupun jika musim hujan tiba.” Kata Matius Turanjanji waktu itu, saat panen perdana sayuran organik yag mereka budidayakan.
Wunga merupakan gambaran salah satu  yang mewakili daerah gersang diKabupaten Sumba Timur. Dimana masyarakat nya sangat sulit untuk mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari selain berharap datangnya air hujan, adapun jika mereka butuh air harus berjuang dengan jarak tempuh yang cukup jauh ke  Lindi, dengan jarak sekitar tiga kilo meter berjalan kaki, ditambah kedalaman tebih 120 meter dan kemiringan 90 derajat.
Para anggota kelompok tani sudah berkumpul di sebuah saung yang sangat sederhana, dengan beralaskan anyaman dari  daun pandan.
“Selamat siang semuanya, hari ini adalah hari terahir bertemu dengan saya secara program, namun seara kekeluargaan besok atau lusa saya pasti akan berkunjung ke Wunga.” Kataku membuka pembicaraan pada kumpulan itu. Semua petani tertunduk, ada keharuan diwajahnya, tak ada yang berani bicara sedikitpun..
“Apa yang telah disampaikan selama belajar  bertani  organic semoga bermanfaat dan mampu membuka wawasan serta merubah pola pikir kita ke depan, walaupun bapak dan ibu tinggal didaerah gersang seperti ini saya harapkan tidak mengurangi semangatnya, sebab kebutuhan itu tidak bisa ditunda.” Tambahku lagi panjang lebar.
“Kami berharap , bapak akan sering berkunjung ke sini dan kami akan sangat senang sekali menerima kehadiran bapak, selain itu kami merasa bersyukur dan berterimakasih atas bimbingan yang bapak berikan selama ini, dari tidak tahu menjadi tahu tentang cara bertani, ini merupakan bekal kami untuk hari depan bersama keluarga dan masyarakat Wunga.” Kata Matius mewakili teman anggotanya.
“Tentu saja ,saya akan berkunjung ke sini. lagi” Selaku
“Dan tolong apa yang telah disampaikan diperaktekan  terus,  kemudian ditularkan pada masyarakat Wunga yang lain, jika menghadapi kendala di lapangan segera kontak saya.” Kataku lagi
“Lagi pula sekarang sudah ada sumur yang dibuatkan Pak Heinrick dan Pak Pendeta Iskandar Saher, jadi kami pasti tambah semangat.” Kata Matius  Menambahkan., yang di iya kan oleh teman - teman anggotanya.
“iya pak pasti kami akan  menghubungi bapak  lari dulu ke bukit signal, soalnya di sini sangat sulit jaringannya.” Kata  Mariana , salah satu anggota ibu-ibu mulai angkat bicara.                                               Ya , lewat bukit signal mereka akan menghubungiku, sama seperti  aku  tadi menanyakan kondisi Tamara yang terbaring sakit.
Ahirnya kami pamit dan bersalaman, ada kehangatan yang dirasakan lewat tangan-tangan mereka. Ada kerinduan yang tersimpan dalam benakku buat mereka.
“semoga mereka menjadi petani yang sukses, setelah kutinggalkan.sebab daerah Sumba Timur sangat butuh tenaga dan sumbangan pikiran mereka demi kemajuan pangannya” Lirihku berdoa dalam hati
“Petaniii……..!!!!” teriaku dari kendaraan sambil jalan.
Jooooooossssss…..!!!!  jawab mereka serempak  sambil tangannya ke atas dikepalkan.
(Radita, Waingapu, 18/5/13)
Catatan : jos  = artinya Jangan Omong Saja
             : Mas Eko dan Bapak Wendi ikut ke Wunga , untuk survai mau pasang kincir angin di sumur Wunga.

















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar