Kamis, 18 Oktober 2012

Petani Sumba Timur : Kami Bukan Pemalas...!!







Macam ragam ungkapan untuk menggambarkan situasi Daerah dan kondisi alamnya. Baik dari sisi positif perkembangan  maupun sisi negatif daerah itu sendiri. Bumi tempat dimana segala mahluk berpijak dan berkembang biak, namun tetap saja mahluk yang namanya manusia paling berkuasa, bahkan paling serakah.
Kondisi alam yang ada terkadang kurang bisa dinikmatinya, sebab selalu Ego yang menguasai dirinya, apalagi bersyukur.
Cuaca yang kurang bersahabat, hujan  terus menerus berdampak pada banjir, lalu kemarau panjang mengakibatkan kekeringan . Kondisi  ini tidak diterima sebagai anugrah, atau pembelajaran agar kita mampu keluar dari kesulitan tersebut justru selalu bersungut-sungut. Nada skeptis sudah menjadi makanan sehari-hari, seolah tidak ada jalan lain sebagai pemecahannya. Lontaran-lontaran yang bersifat stigmatis bagaikan sebuah “cap raksasa” yang tak mampu untuk dirubah, atau diputar balikan menjadi sebuah kenikmatan yang berujung pada kemaslahatan manusia di muka bumi ini.
Akibat dari “Cap Raksasa”  bahwa orang sumba “pemalas” justru  melahirkan kata “Migrasi”. Dimana para generasi berlomba pindah ke kota-kota besar, menjadi kaum urbanis sekedar mengadaikan tenaganya. Padahal tanah mereka luas, ternak banyak jika diolah dan diberdayakan.
Setelah menjadi kaum urbanis, mereka tidak kembali, malah mengeluarkan stigma-stigma negatif  “Cap Raksasa” bagi kampung yang melahirkannya, kepada tanah leluhurnya.
Inilah Sumba dengan sebutan Pulau Arwah atau bumi Marapu. Dimana sebagian besar daratannya merupakan padang savana. Jika musim kemarau tiba padang rumput  tadinya menghijau berubah warna,menguning  kering. Bahkan bukit-bukit menghitam akibat dibakar tangan-tangan iseng,telanjang seperti raksasa yang tertidur pulas.
“Kami akan buktikan, pada keluarga dan khalayak bahwa kami bukan pemalas.” Seru Mariana  Hanna Mb, seorang ibu rumah tangga, petani di Makamenggit. Sedang memikul air untuk menyiram tanamannya.sebagian lagi ibu-ibu sengaja mengankut air dari sungai pakai ember yang ditaruh di kepalanya.
“Sebetulnya selama ini tidak ada yang membimbing kami, bagaimana mengolah tanah dengan baik, memelihara ternak yang menguntungkan,Kami seolah berjuang sendirian.” Ujar Makahar Djawaraey, masih petani dari Desa Makamenggit.
Para petani diatas bercerita, selama ini belum pernah ada yang memberdayakan mereka,sebenarnya tanah-tanah mereka subur, meski dilanda kemarau panjang tanah para petani tersebut  berdekatan dengan sungai. Namun baru kali ini dimanfaatkan.
“apa yang harus dilakukan, karena tidak ada yang memberitahu caranya..?  tambah Makahar lagi setengah bertanya.
“Tahun lalu tanam sayurpun disekitar sungai ini hanya cukup untuk keluarga, kalau lebih ya dijual, tapi sekarang semua petani berlomba, mengngingat sudah ada yang membimbing, ini awal yang bagus.” Cerita  Martin Djami, anggota SLPO Makamenggit."kami baru tahu ternyata banyak yang bermanfaat, yang bisa diolah tak perlu semuanya harus beli, asal mau berubah." ujar Martin  lagi
Tampak tanaman sayur disekitar bantaran sungai Makamenggit menghijau, kesibukan petani beragam  ada yang sedang menyiram. Mengikat tomat, memberikan kompos dasar. Dan  sedang panen.
“Besok hari pasar , tiap hari kamis di dekat kantor Kecamatan Nggaha Ori Angu, jadi sayuran ini disiapkan biar pagi langsung berangkat.” Kata Nathalia, sedang  memilah milah jenis sayuran organik hasil panen dari teman-temannya sesama anggota SLPO Makamenggit, untuk dibawa ke pasar .
“Sayuran yang saya bawa langsung laris banyak yang suka, enak renyah, segarnya tahan , begitu .” Katanya lagi besemangat.                                                                                                                                                                                                    Nathalia dan kawan-kawan  merupakan anggota peserta program Pemberdayaan Pertanian Organik. Dampingan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia, IPPHTI. Desa Makamenggit kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur, NTT.

Paktor alam, iklim dan tanah. Adalah pendukung  keberlangsungan dunia pertanian yang akan menghasilkan kebutuhan pangan bagi bangsa ini. Tapi jika Sumber Daya Petaninya tidak diperhatikan, ketersediaan pangan akan tergaggu.
Alam janganlah dijadikan kambing hitam. Apalagi bisa nya  hanya mengeleuarkan stigma-stigma negatif, pada daerahnya sendiri, hanya mampu memvonis.  mereka  “pemalas” tanpa bisa memberikan jalan keluarnya. Itu tidak bijak.



Bisa memvonis harus bisa memberi  solusi. Itu baru bijak
“Bangulah  jiwanya….
“Bangunlah Badannya….
“Untuk Indonesia Raya……                                            (Radita)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar