Selasa, 16 Oktober 2012

Berbagi Di Bumi Marapu (bag. 2 )




Rinduku pada Sumba       
Adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga

Ini adalah kutipan dari sajak “ Beri Daku Sumba” karangan Taufik Ismail.  Nama Sumba waktu itu hanyalah dalam pertautan batinku  saja,tidak tahu tempatnya dimana. sering diucapkan kala naik pentas. Namun kini aku berada dalam pangkuannya, sekarang kusebut, kupijak dan kubawa  terbang pada teman-teman ku nun jauh di sana.
Memasuki minggu pertama di pulau yang mampu mengelorakan untuk berbagi dengan orang-orang  Sumba, jika aku gambarkan seperti seorang pasen yang mendapat inpusan darah segar yang maha dahsyat. Masih segar dalam ingatan ketika mengenalkan seleksi benih padi  pola SRI pada para petani peserta program pertanian organik.
 Mereka seolah  tak percaya apa yang aku contohkan dalam praktek, Aku sampaikan bahwa sebelum masuk persemaian calon bibit harus diseleksi terlebih dahulu supaya hasil sesuai dengan yang diharapkan.Bibit apapun supaya nanti keturunannya bagus.
“ Bagaimana kalau benih padi yang berlabel?” tanya seorang petani
“Sama harus diseleksi dulu.” Jelasku  “ jangan percaya pada label, karena label  bisa dipalsukan.” Tambah ku lagi meyakinkan petani peserta .
Ahirnya kami menyiapkan bahan bahan untuk seleksi benih ,sepeti garam, telur , toples plastik dan benih padi yang akan  disemai. Dalam proses semua mengikuti dangan antusias. Padi, pertama direndam dalam air biasa yang mengapung dibuang, kemudian yang tenggelam dipindah lagi ke toples pelastik  yang sudah di cek dengan garam dan telur, jika telurnya mengapung, berarti berat jenisnya sudah normal, lalu benih padi toples npertama itu dimasukan. Ternyata masih banyak yang mengapung. Dari praktek inilah ahirnya para petani bisa mengambil kesimpulan, mampu membedakan seleksi benih yang biasa mereka  lakukan secara turun temurun dengan pola SRI.
Namun ada saja petani yang merasa penasaran , apakah cukup benih padi satu gelas untuk lahan tanam  5 are sebagai lahan belajar mereka? Aku belum menjawabnya , kujanjikan nanti ketika saatnya tanam.
‘Saya yakin kebutuhan anakan padi tidak akan mencukupi.” Lagi-lagi ada yang nyeletuk
Para petani menyiapkan lahan semai dengan luas 120 cm X  50 cm, lagi-lagi mereka bertanya. Kenapa tidak disawah langsung? Kenapa di darat? .pikiran mereka berkecamuk, ini pola semai padi  yang aneh mungkin . Meski begitu petani peserta sambil melakukannya. Posisi semai padi memang di darat,dilapisi karung pelastik baru dilapisi daun pisang kemudian pupuk yang sudah dicampur dengan tanah tebalnya sekita 7 cm saja, terus bibit padi ditaburkan ditutup tipis oleh tanah.disiram pagi sore, agar tumbuhnya merata.
Inilah awal kegiatan dengan para petani Sumba Timur, bisa dipahami, jika mereka merasa aneh meleihat selama ini yang belum pernah dilakukanya. Ada yang percaya , pasti banyak yang menysngsikannya.

“ sepuluh hari dari sekarang ini persemaian sudah siap tanam. ” kataku pada Mereka
“ Haaah..? hampir semuanya ternganga dengar  ucapanku
“ Kami di sini biasa satu bulan Kang , paling cepat 3 minggu baru bisa dipindah ” Kata petani yang bernama Markus Dendungara, setengah teriak.





Ahirnya aku jelaskan mengapa  pola SRI seperti itu,bahwa  dengan pola ini banyak sekali keuntungannya. Tanam bibit muda, karena  anakan padi masih punya cadangan makanan,  bulir padinya masih menempel dan cepat beradaftasi di lahan, sebab akar tidak terganggu.
Berbeda sekali dengan pola biasa, bibit padi dicabut, dibanting lalu diikat kemudian dilempar ke tengah sawah dari pematang, bagaimana kalau anak manusia diperlakukan seperti itu ? kataku. Jadi bibit tersebut akan menyembuhkan dirinya dulu baru bisa beradaftasi dengan tanah. Sambil aku memperagakan seperti menjinjing bayi yang baru lahir lalu dibantingkan. Para petani pun semua tertawa ngakak, melihat aksiku.Atau bisa juga memakai wadah pelastik bekas kue, lapisi daun pisang, pupuk lalu benih di taburkan. supaya memudahkan membawanya ke tengah sawah.
"Pola SRI hanya butuh bibit padi 8 kilo gram per hektar. "
"Apa cukup kang..? teriak Markus " Kami biasa di sini 40 sampai 50 kg per hektar." serunya lagi. aku hanya diam saja, kasihan petani seperti berjuang sendiri menentukan nasibnya. Apakah petugas lapangan pertanian di sini tidak tahu? atau tidak mau memberi tahu? atau benar-benar tidak tahu...?
Mentari mulai redup, angin bertiup  sepoy-sepoy . Tak terasa sudah menjelang malam. Aku pamit pulang pada mereka. Jabat tangan mereka terasa hangat dan kuat. Sorot matanya seolah berbisik.” Jangan pulang dahulu kami masih betah”
"besok kembali lagi." janjiku dalam hati.
Ah aku tak boleh terbawa perasaan, yang jelas hari ini  sangat senang dan menikmatinya bisa berbagi dengan mereka .
Ini langkah awal, ini kegiatan awal… Wahai Pembina Kehidupanku…Semoga Engkau membimbingku Ya  Alloh….
Beri Daku Sumbaaaaa….!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar